Tuesday, August 4, 2015

8 Cerita Horor Terseram Versi Saia

JANGAN DIBACA MALEM-MALEM APALAGI SENDIRIAN



Hai guys! Belakangan gue lagi tertarik banget ama cerita-cerita horor, terutama yang kisah nyata nih. Setelah bertapa di dunia elektronik selama beberapa lama sampe kumis janggut en bulu ketek tambah panjang, gue menemukan beberapa cerita yang super-bikin-merinding dan super-bikin-lu-ga-berani-ke-toilet-sendirian. Ini bukan kisah yang gue alami sendiri btw. Biar gue bagiin sekarang ama kalian.

And don’t forget guys, these are all true stories :D



Gadis Kecil
Aku tinggal di sebuah rumah selama empat tahun, sejak umurku sebelas sampai hampir enam belas tahun. Selalu saja ada sesuatu yang terjadi di rumah itu. Pintu-pintu membuka dan menutup sendiri, suara-suara, bunyi langkah kaki. Tidak ada benda yang terletak tetap di tempat kau taruh itu sebelumnya, selalu berpindah-pindah. Aku sering sendirian di rumah karena kedua orangtuaku bekerja dan aku selalu ketakutan.

Salah satu hal yang paling mengganggu di rumah itu adalah seorang gadis kecil di kamar mandiku. Setiap kali aku berjalan melewati pintu kamar mandi (yang sering kulakukan karena kamar mandi itu terletak tepat di depan kamarku), aku melihat seorang gadis kecil dengan rambut pirang keriting dan gaun sewarna mawar. Gadis itu hanya berdiri saja disana, menatapku, seperti sebuah foto dari tahun 1905.  Kuusahakan agar  pintu selalu tertutup sehingga aku bisa melewati kamar mandi tanpa melihat gadis itu, tapi dia selalu disana tiap kali aku membuka pintu. Sekali waktu aku melangkah melewat dia, aku tidak bisa melihatnya lagi tapi aku bisa merasakan dia ada di sana. Gadis itu membuatku takut, tapi aku merasa kasihan juga padanya karena dia terperangkap disana, sama sepertiku, hanya saja dia terperangkap selamanya.

Ketika tahun demi tahun berlalu dan segala sesuatu yang terjadi di rumah itu semakin bertambah parah, gadis itu kelihatan… semakin gelap. Aku mulai merasa bahwa sebenarnya dia bukan semata-mata ‘seorang gadis kecil’. Aku tahu ada sesuatu yang buruk dalam rumah itu dan aku merasa sesuatu itu selalu berusaha menarik perhatianku. Sampai-sampai aku mulai berpikir bahwa aku sudah gila.

Suatu hari, ketika aku berumur 14 tahun, temanku dari luar kota datang menginap di rumahku selama seminggu. Aku sama sekali tidak memberitahunya tentang rumah ini karena kupikir dia pasti tidak jadi datang kalau kuceritakan semuanya. Tepat ketika temanku sampai, kami duduk-duduk di kamarku dan kemudian dia pergi ke kamar mandi. Sekitar semenit kemudian dia kembali dengan ekspresi bingung dan berkata, “Jadi, ada gadis kecil di kamar mandimu.”

“Um, yeah, dia nongkrong di situ. Pirang kan?”

“Keriting? Dengan gaun pink? Yeah. Kau tahu itu bukan benar-benar seorang gadis kecil, kan?”

Aku hampir muntah. Begitu leganya aku, sekaligus ketakutan dan senang dan siap untuk lari keluar rumah sambil berteriak-teriak. Temanku itu tidak mau menggunakan kamar mandiku selama sisa minggu dan aku juga mulai jarang menggunakannya sebisa mungkin tanpa membuat orang tuaku kesal (karena mereka tidak mau percaya).

Akhirnya kami pindah rumah dan aku merasa sangat senang. Aku berusaha tak memikirkan rumah itu sebisa mungkin. Kemudian, ketika aku berumur 18, aku mengajak temanku yang lain untuk mengambil beberapa barang yang kutinggalkan di rumah itu (orangtuaku tidak berhasil menjualnya sampai 5 tahun kemudian). Di menit kami tiba di properti tersebut, temanku langsung kelihatan tidak nyaman. Ketika kami sampai di parkiran, dia menjadi amat pucat. Aku tahu ada sesuatu yang salah, tapi dia bersikeras semuanya baik-baik saja, jadi kami pun mulai bekerja. Setelah beberapa saat dia bilang dia butuh ke toilet dan aku menunjuk kamar mandiku. Belum sampai 20 detik dia sudah bergegas kembali, napasnya terengah-engah, dan membanting pintu menutup di belakangnya. Dia mulai menyerocos soal gadis kecil berambut pirang yang sebenarnya bukan seorang gadis kecil. Tiba-tiba dia terdiam, menatapku tepat di mata, dan teramat serius ketika berkata, “Gadis itu tidak senang. Padamu. Kau meninggalkannya, dan tidak seharusnya kau begitu.”

Kami segera melemparkan apa-apa saja yang bisa diraih dalam dua kali bolak-balik ke mobilku dan secepat mungkin meninggalkan rumah tersebut.


Photographic Memories


Aku tumbuh di New Mexico dan sangat senang melakukan kegiatan outdoor, hiking, camping, memanjat tebing, dll. Di suatu musim panas ketika aku berusia 19 tahun, aku pergi camping sendirian selama 4 hari/3 malam dekat rumah orangtuaku. Mungkin kedengarannya aneh tapi aku sudah sering kesini dan aku tahu disini aman.

Aku membawa kamera dan mengambil banyak sekali foto. Ketika aku kembali dan mencuci foto, ada 3 foto ekstra yang tidak pernah kuambil… fotoku… yang sedang tidur. Sebuah tiap malam.

Barang-barangku tidak ada yang hilang atau tercuri dan tidak ada hal aneh yang terjadi, tapi siapa yang mengambil fotoku saat sedang tidur? Hal itu membuatku takut.


Apa Yang Diketahui Anjingku


Di apartemen tuaku, anjingku kadang-kadang suka menatap koridor menuju kamar tidur dan menggeram, entah untuk tujuan apa. Juga kadang-kadang, ketika aku sedang tidur (anjingku tidur di kaki ranjang), aku akan terbangun melihat anjingku menatap pintu dengan tajam sambil menggeram. Anjingku adalah Great Dane betina besar, seberat 140 pon dan berliur.

Jadi aku tinggal disana selama beberapa tahun sambil berpikir, oke, anjingku punya imajinasi hebat.

Ternyata salah. Suatu malam aku terbangun bukan karena anjingku menggeram, melainkan menyalak sekeras mungkin. Dan bukan ke arah pintu… dia menyalak tepat ke arahku. Aku membuka mata, dan segera kulihat seberkas cahaya buram, membungkuk di atasku, sangat dekat—kurang dari enam inci dari wajahku. Tidak bisa dikatakan apakah itu kelihatan seperti seseorang—lebih tepat dikatakan kalau itu cuma seberkas nebula berwarna (yang biasanya kaulihat di majalah sains) seukuran manusia. Aku segera mendapat kesan bahwa apapun ini telah mengawasiku tidur. Entah sudah berapa lama, dan berapa kali. Tapi aku tidak tahu apa yang dia inginkan, apakah niatnya jahat atau hanya ingin tahu.

Aku langsung melompat dan menjauhi ranjang, terlalu takut untuk teriak, dan berkas cahaya buram itu memudar dan menghilang kira-kira 3 detik kemudian.

Tak lama setelah itu, aku menanyai manager apartemenku, apakah ada yang pernah meninggal disana. Dia memeriksa hal itu, kemudian menemuiku beberapa minggu kemudian dengan jawaban iya, seorang wanita pernah mati akibat overdosis obat di tahun 1995 (12 tahun yang lalu), tak lama setelah anaknya diambil darinya karena masalah ketergantungannya itu.

Anjingku masih sekali-kali menggeram ke arah koridor, tapi aku tidak pernah melihat apapun lagi. Aku pindah dari sana sekitar setahun kemudian.


Ada Sesuatu Di Tangga


Ketika aku masih kecil, aku sering menaiki tangga secepat yang aku bisa, seolah-olah aku sedang bermain kejar-kejaran. Mungkin saat itu aku baru berusia 5 atau 6 tahun, entahlah, pokoknya aku masih sangat kecil. Di suatu tempat di atas tangga, sebuah suara mulai berbisik padaku. Suara itu membuat taruhan, semacam… “Aku bertaruh satu penny kau tidak bisa sampai ke puncak tangga.”

Aku tidak pernah berpikir ada batas waktu atau apapun. Seperti yang kukatakan, aku masih sangat kecil sehingga kemungkinan aku masih belum bisa berhitung. Ha. Aku ingat pernah duduk-duduk di puncak tangga, mengobrol dengan suara itu, tentang taruhan, tentu saja. :p

Akhirnya si suara (yang kedengaran seperti bisikan pria dewasa, bukan suara dalam kepalaku sendiri) mulai bertaruh dengan hidupku. Bukan lagi dengan penny, dia akan berkata, “Aku bertaruh hidupmu, kau tidak bisa mencapai puncak tangga bla bla bla.”

Semakin aku bertambah besar, suara itupun berhenti. Aku tidak pernah benar-benar memikirkan hal tersebut. Aku juga tidak pernah menceritakannya pada siapapun… SAMPAI suatu malam ketika aku menginap di tempat kakak laki-lakiku (aku sudah 18 tahun, dia 22) dan kami saling bercerita horor. Entah mengapa aku menceritakan soal “suara di puncak tangga” dan kakakku mendadak terdiam dan tampak aneh. Belum sempat kuceritakan soal taruhan itu, dia berkata, “Apa suara itu bertaruh padamu?”

Kami saling berpandangan, sama-sama ketakutan. Mengerikan sekali rasanya karena ternyata suara itu juga berbicara padanya. *merinding*

Banyak masalah terjadi di keluargaku pada waktu itu, dan ibuku, seorang wanita religius, pernah berkata bahwa ada banyak “hal jahat” dalam hidup kami waktu itu. Tidak pernah kupikirkan sebelumnya bahwa rumah kami berhantu. Btw rumah itu dibangun di akhir tahun 70-an dan semakin aku bertambah dewasa, aku tidak pernah mengalami hal aneh lagi.


Dilewati


Kami pernah pergi camping sekali, mengendarai mobil melewati beberapa kota, ayahku yang mengemudi, ibuku di kursi penumpang, dan aku di belakang mereka, bersandar pada sambungan yang memisahkan bagian kemudi dengan karavan. Saat itu sore, belum sepenuhnya gelap. Kami sedang mengobrol dan ibuku sedang melihat keluar jendela ketika dia tiba-tiba berteriak, “Ya Tuhan, ya Tuhan, Gene? Apa kau melihatnya?”

Ayahku berkata, “Ya. Aku melihatnya. Aku pelan-pelan saja dan biarkan mereka lewat.”

Mobil kami memelan dan sebuah mobil menyusul kami di sebelah kanan. Aku tidak bisa melihat dalamnya, tapi jendela mobil itu terbuka dan lengan yang menggantung di jendela kelihatan seperti seseorang  yang kurus sekali (perlu diingat bahwa setir mobil Eropa terletak di sebelah kiri, jadi kami langsung tahu itu pengemudinya).

Aku bertanya pada ibuku apa yang sebenarnya dia lihat, dan dia berkata bukan apa-apa. Ayah juga mengatakan hal yang sama.

Beberapa tahun kemudian, aku menanyakan hal itu lagi pada mereka.

Ibu akhirnya menjawab, “Tengkorak. Dan itu bukan topeng, karena kau bisa melihat tembus ke rahangnya. Itu punya lidah dan mata. Itu adalah Kematian.”


Dari Mulut Para Bayi


Ketika kakak perempuanku lahir, kedua orangtuaku pindah ke sebuah rumah kecil. Di rumah itu, ruang cuci terletak tepat di seberang meja dapur. Kakakku sering terlihat melambai dan menatap dan tertawa ke arah ruang cuci. Perilaku ini terus terjadi dalam waktu yang lama dan ketika dia bisa bicara, orangtuaku bertanya pada siapa dia mengobrol disana. Kakakku menatap mereka dan menjawab, “Anak laki-laki.” Mereka lalu bertanya apakah anak itu baik dan sebelum menjawab, kakakku terdiam sejenak. “Iya,” katanya kemudian. Sesudah itu kakakku bertumbuh besar dan lupa soal anak laki-laki itu, membuat orangtuaku lega dan menganggap anak itu cuma teman khayalannya saja. Mereka pun tidak pernah menyebut-nyebut soal itu lagi.

Ketika kemudian aku lahir, aku melakukan hal yang sama dan waktu aku mulai bisa bicara, orangtuaku bertanya lagi pada siapa aku bicara disitu. Aku menjawab, “Anak laki-laki.” Mereka pun bertanya lagi apakah anak itu baik dan aku melakukan hal yang persis sama seperti kakak perempuanku dulu, tapi sedikit berbeda. “Iya,” jawabku, “walau kupikir dia bohong.”


 Anak Laki-Laki


Ini tidak terjadi padaku, melainkan pada bibiku dan ini sangat menakutkan.

Bibi dan pamanku membeli sebuah rumah tua keren bergaya Victorian di sebuah kota kecil sekitar empat puluh mil jauhnya dari Austin. Tempat itu benar-benar tua namun keren dan ada penanda historikal di halaman depan. Bibi dan pamanku pindah kesana karena urusan pekerjaan beberapa tahun lalu, dan rumah itu sekarang menjadi penginapan kecil yang cukup sukses. Walau aku sama sekali tidak tahu kenapa ada orang yang mau membayar untuk tidur disitu.

Bibi dan pamanku memiliki seorang putra dan putri. Chad, putranya, berumur sekitar tujuh tahun saat itu.

Suatu hari, bibiku sedang sendirian di rumah—paman dan putrinya sedang di tempat kerja, Chad sedang di sekolah, wanita yang suka datang membersihkan rumah sudah pulang hari itu. Bibi sedang di ruang kerjanya, mengerjakan suatu proyek apalah itu. Di rumah itu, kalau kau duduk di meja ruang kerja, kau bisa melihat kaki tangga dengan jelas.

Bibi sedang duduk di depan komputer, ketika dia mendongak dan melihat seorang anak laki-laki duduk di kaki tangga, menatapnya. Anak itu kira-kira seumuran Chad, maka itu bibi beranggapan anak itu adalah teman Chad. Dia bertanya pada anak itu, siapa namanya, tapi anak itu tidak menjawab. Bibi berpikir anak itu aneh, jadi bibi berkata bahwa dia harus ke sekolah atau paling tidak pulang ke rumah. Bibi menunduk sejenak, dan ketika ia mendongak lagi, anak itu sudah hilang.

Ketika Chad pulang ke rumah, bibi bercerita bahwa salah satu temannya tadi berada di rumah. Chad berkata, “Tidak mungkin, teman-temanku semua ada di sekolah bersamaku.”

Bibi kemudian mendeskripsikan anak laki-laki aneh itu, dan Chad terdiam. Dia bilang, “Oh ya, aku tahu dia. Dia suka keluar dari lemariku malam-malam untuk bermain.” Berusaha tidak memikirkan hal itu, bibiku menyuruh Chad main di luar dan berhenti menceritakan cerita aneh.

Beberapa bulan kemudian, bibi melakukan penyelidikan terhadap sejarah rumah itu dan mengetahui bahwa seorang anak laki-laki, berumur delapan tahun, meninggal di sana karena leukemia di tahun 1970an. Bibi menemukan artikel koran tua yang menyebutkan kematian anak itu, disertai dengan foto yang segera dikenalinya. Anak di foto itu sama dengan anak yang telah menatapnya dari tangga.


Truk Garang


Kami tidak pernah bisa mengetahui ada apa di balik semua ini. Dan sekarang, semua saksi yang masih hidup harus sangat mabuk kalau ingin mendiskusikan hal ini lagi.

Saat itu aku masih 7 tahun, kakak laki-lakiku 10 tahun, ibuku masih awal 40 tahunan, dan nenekku (ibunya ibuku) berusia 60 tahunan. Jadi ingatan kami tentang kejadian itu masih kuat. 

Nenek tinggal di sebuah kota terpencil di NC yang dinamai dengan nama keluarganya karena hanya merekalah orang-orang yang cukup gila yang tinggal di tanah seluas 4 kilometer persegi. Dan ya, mereka memang gila. Kami punya cerita soal sanak saudara yang dimulai dengan, “Kau ingat saat Paman Bob berada di parit dengan senapan?”

“YANG KAPAN?” –> tak terhitung berapa kali Paman Bob memegang senapan.

Rumah nenekku dibiarkan kosong selama beberapa minggu selama dia mengunjungi kami di Florida, tapi kemudian kami kembali, menghabiskan akhir minggu dengannya sebelum menikmati kembali negara bagian yang penuh matahari. Rumah itu terletak di pinggiran kota, di atas trek kereta, melewati pekarangan, dan tetangga terdekatnya (seorang sepupu—semua orang berhubungan darah dengan semua orang yang memiliki rumah di sana) tidak berada dalam jarak teriak. Ya, disana jarak diukur dengan “jarak teriak”.

Saat itu masih subuh, matahari belum terbit. Kami terbangun karena Nenek terbiasa bangun subuh. Kami sedang makan sereal ketika kami mendengar seseorang parkir di halaman. Ingin tahu, kami semua pergi ke jendela besar yang mengarah ke halaman. Ada sebuah truk aneh disana. Tidak terlihat seorangpun di belakang kemudi, meski mesinnya masih menyala. Truk itu… yah, sudah tua, mungkin dari tahun 1930an. Truk itu sudah berkarat tapi kemungkinan besar pernah dicat biru.

Kami semua memandang truk itu, bertanya-tanya. Ibu bertanya pada Nenek apakah beliau tahu siapa itu. Sama sekali tidak, kata Nenek. Dia berlari menuju telepon untuk memanggil sepupunya dan memintanya datang—pikirnya mungkin saja itu pekerja sewaan dan datang ke pertanian yang salah. Tepat setelah Nenek memintanya datang, telepon mati. Oke. Itu aneh.

Seketika itu juga, pintu depan digedor sangat keras. Kami semua menjerit. Nenek, yang saat itu mampu berpikir jernih, menuntun kami semua ke ruang tengah, jauh dari jendela yang membuat siapapun di luar bisa melihat ke dalam. Lalu, sementara Ibu, kakak, dan aku gemetar ketakutan di sofa, Nenek mengambil pisau roti bergerigi dari dapur dan berhati-hati mendekati pintu depan. Dia mengintip keluar lewat jendela samping pintu. Kemudian dia memandang kami, bingung. Dia menggeleng seolah berkata, “Tidak ada siapapun di luar.” Kami semua merasa lebih lega.

Lalu SEMUA pintu di dalam rumah digedor keras—terus menerus. Sampai sekarang aku masih bisa merasakannya. Teratur dan menakutkan, seolah semua pintu hendak retak dan patah. Ada dua pintu di basement bawah kami, jadi suaranya membuat lantai bergetar. Kami bisa melihat pintu-pintu itu bergetar keras dari tempat kami berkumpul. Akhirnya, Ibu berlari ke jendela—entah karena sudah gila akibat teror atau apa, aku tidak tahu. Dia berteriak, “Oh terima kasih Tuhan—Sepupu sudah datang!” Kami bergegas mengintip di jendela besar juga.

Sepupu berjalan melewati truk dengan shotgun di tangan. Sepupu kami, perlu diingat, memiliki hampir semua senjata api yang pernah dibuat. Dia kelihatan bingung, melihat bagian belakang truk, kemudian menatap ke dalam jendela truk dan seketika itu juga berhenti. Wajahnya jadi pucat, tangannya terangkat mengusap wajahnya. Kemudian dia BERLARI ke arah rumah, ke arah kami.

Nenek membuka pintu dapur lebar-lebar saat melihat sepupu berlari. Sepupu berteriak, “Semuanya sembunyi di belakang sofa! TIARAP!” Dia berlari melewati sementara kami bergegas menuju sofa. Gedoran itu mulai LAGI, semua pintu dan kini kami dapat mendengar jendela-jendela bergetar juga. Kedengarannya seperti tornado. Kami terlalu takut untuk berteriak.

Sepupu menyentak pintu depan sampai terbuka dan menembakkan shotgun besarnya, sekali, BANG, memekakkan telinga. Saat dia melakukan itu, truk meraung nyala. Kami semua berkumpul; dan semua gedoran itu berhenti. Sepupu berjalan ke halaman, senjatanya diarahkan ke truk. Kami berlari di belakangnya, ingin keluar dari rumah dan berada di dekat si pria bersenjata. Truk itu mundur, berputar dan melaju dengan kecepatan yang dapat mematahkan leher. Sepupu menembak lagi dan mengenai kaca belakang, terdengar suara jendela truk pecah berkeping-keping. Namun truk itu tidak berhenti, tetap melaju ke arah jalan raya dan menghilang. Tidak ada plat nomor atau apapun di belakangnya.

Dan TIDAK ADA SIAPAPUN di belakang kemudi.

Kami semua melihat dengan jelas. Semua setuju. Truk itu tidak ada pengemudinya.

Yah, tidak bisa kami lihat, setidaknya.

Polisi pun dipanggil (saat itu belum jaman telepon genggam, jadi kami harus menelepon di rumah sepupu). Rupanya line telepon di rumah Nenek dipotong. Tidak ada satupun jejak di halaman kecuali jejak Sepupu, dari sejak dia berlari masuk dan keluar rumah. Sepupu melaporkan bahwa truk tersebut tidak ada plat nomornya tapi ketika dia melihat ke dalam truk, pemandangan di dalam seperti “film horor”. Dia bilang ada berbagai benda aneh—borgol, c-clamps, benang nilon—dan dia juga bilang lantai truk ditutupi dengan sesuatu yang “tercium seperti” darah (Sepupu terkenal dengan indra penciumannya yang tajam dan jendela truk itu dibuka, jadi mungkin saja).

Sepupu berkata ia melihat sesuatu yang buram di luar jendela besar dan segera menembak yang pertama kali itu, tapi “meleset” karena, begitu dia berdiri disana, tidak ada seorangpun atau apapun di halaman, juga di truk. Sampai sekarang kejadian itu tetap tak meninggalkan jawaban, hanya meninggalkan rasa tidak nyaman tiap kali kami mengunjungi Nenek.

Nenek dan Sepupu telah meninggal sekarang. Kakak, Ibu, dan aku tidak pernah bisa mendapat jawaban—bahkan polisi pun tidak bisa. Kami tidak tahu bagaimana semua jendela dan pintu digedor kencang, dan kami tidak tahu mengapa kami tidak melihat SIAPAPUN atau bagaimana mereka bisa mengitari rumah tanpa meninggalkan jejak sedikitpun di tanah basah.

______________________________________ 



Gimana? Udah merinding? Kalo ada yang mau ngebagiin cerita-cerita supernatural disini boleh juga yaa… I would love to hear your story! Silakan tulis aja di komen bawah.

Sekian post-an kali ini. Semoga ke depannya Rangers yang laen bisa nyempetin waktu buat nulis disini. Ciao!


Nih cat therapy dulu
 
  
 
 




P.S.
To: Na, Ne, Ndy.

Cepetan nulis yang baru! Sebelom gue mengubah blog ini jadi blog horor!


Sincerely, 
Fan

No comments:

Post a Comment