Monday, August 10, 2015

5 Stories About Horrible Customers and the Revenge They (The Restaurant) Have Done

Hai, hai, hai! Kembali lagi bersama saya, idol imut bin cantik nan ajaib… Faaan!! 

*pasang tameng, siapa tau dirajam sambel*

Kali ini gue mau menyampaikan kabar gembira untuk kita semua, kulit manggis kini ada ekstraknya beberapa cerita soal pelanggan restoran yang uju bilè nyebelin beud, tapi kemudian di-counter attack ama pihak restorannya. Mau tau kisah seru seperti apa yang terjadi? Let’s dive to the cases~!!

 


Do Not Ever Mess With My Boss
By: Paul Ziegler

Aku bekerja di sebuah Restoran/Bar Irlandia di area Buffalo NY. Sang pemilik telah mengembangkan usaha ini dari sekedar restoran dengan 20 kursi menjadi restoran yang sangat besar dan dikagumi. Beliau sangat adi dalam menghadapi kami semua, para pekerja, dan sangat hebat dalam menangani masalah dengan customer. Tiap kali seorang customer punya masalah, beliau langsung turun tangan, tidak pernah mengkambing-hitamkan para staff, dan sebagainya. Hal ini baik untuk bisnisnya, tapi rupanya tetap saja ada 1 pelanggan menyebalkan selama bertahun-tahun.

Pria yang menjadi langganan kami itu SELALU menemukan kesalahan di makanannya. Dia selalu memesan makanannya secara take-out, dan begitu dia membuka makanannya di rumah, dia menelepon balik dan protes bahwa ada yang salah atau ada yang hilang di makanannya. Memang terkadang ada beberapa item yang lupa ditambahkan (acar, kerupuk, kentang goreng), tapi pria ini selalu memesan saat dinner rush.

Sampai sang pemilik akhirnya memeriksa sendiri tiap kontener makanan yang dipesan tepat di depan pria ini, untuk meyakini bahwa makanannya sudah benar dan lengkap. Sejak saat itu pria ini jadi tidak bisa protes lagi, jadi dia pun berpikir kreatif. Tiap kali menelepon untuk memesan, dia selalu bertanya dulu, apakah sang pemilik sedang di tempat atau tidak, baru dia memesan kalau sang pemilik sedang tidak ada. Tentu saja, setelah makanan dia terima, dia akan pulang dan menelepon bahwa ada yang salah di makanannya, dst dst.

Singkat cerita, Hari St. Patrick tiba dan hari itu adalah hari tersibuk di restoran kami. Seminggu penuh musik Irlandia, Guinness, makanan mengandung corned beef dan kubis. Karena sudah beberapa kali menerima telepon dari pria ini, aku langsung mengenali namanya. Aku memberi tahu koki bahwa aku akan menangani sendiri pesanannya. Kupastikan pesanannya sempurna, dari kentang tambahan, kerupuk tambahan, tanpa acar… pokoknya kupastikan pesanan ini perfect se-perfect-perfect-nya.

Pesanan itu pun diberikan dan pria itu pulang. Kemudian bus penuh dengan rombongan orang2 yang baru pulang dari parade datang. Semuanya mabuk dan senang. Sang pemilik pun kelihatan bahagia saat mengecek kami semua yang sedang bekerja… sampai si tukang protes itu menelepon kami kembali, bahwa makanan yang dia pesan semuanya salah. Sang pemilik mendatangiku dan segera bertanya soal pesanannya. Kutunjukkan padanya catatanku soal pesanan itu, termasuk tambahan2 yang dia pesan. Sang pemilik, karena sedikit mabuk, mulai marah pada kami karena “kita semua tahu pria ini sangat pemilih dan dia memesan banyak, sekarang dia bilang semuanya salah”. Sampai-sampai kutekankan pada beliau bahwa aku membuat makanannya secara personal dan sudah memeriksa semuanya berulang-ulang.

“Kau membuat pesanan ini pribadi?”

“Ya, Sir, because I know this guy is a f*cking *sshole.”

“Oke.”

Sang pemilik mengambil gagang telepon dan berbicara pada si tukang protes itu dengan suara senang nan mabuk, “Kokiku berkata bahwa dia yakin pesananmu 100% benar, karena dia berkata kau f*cking *sshole. Aku percaya padanya dan bukan kau, f*ck you, jangan pernah lagi memesan dari restoranku, you piece of sh*t.”

Beliau membanting teleponnya dan kami semua terdiam, speechless. Sangat tidak seperti dia karena dia tidak pernah bicara seperti itu pada pelanggan. Seseorang mulai tertawa dan akhirnya kami semua ikut tertawa serta bertepuk tangan. Sang pemilik juga tertawa, tapi langsung beralih jadi serius, “Aku percaya pada kalian, kalau tidak, aku tidak akan pernah melakukan itu.”


What a Tragic Fate
By: Jamie Park


Temanku bekerja selama bertahun-tahun sebagai manager di McDonald. Suatu malam, beberapa pria datang di drive-thru, kelihatan sekali sedang high. Jelas mereka sedang ‘bersenang-senang’ dalam mobil sampai asap mengepul tebal dari balik jendela yang terbuka. Mobil itu sendiri ada stiker pink-nya, menandakan bahwa mobil itu tidak lulus safety test dan seharusnya tidak dikendarai untuk alasan apapun juga.

Kelompok ini memesan makanan bertotal $100. Melihat petugas drive-thru yang ragu-ragu mengonfirmasi pesanan karena mereka kelihatan jelas sedang high, mereka mulai merutuk dan menyumpahi para staff, melontarkan ejekan rasis yang keterlaluan.

Para staff khawatir akan terjadi kekerasan, maka mereka memanggil temanku, sang manager, untuk mengatasi situasi tersebut. Dia telah diberitahu mengenai semua yang terjadi dan semua yang mereka katakan. Dia pun mendekati mereka dan berkata bahwa karena mereka telah memesan banyak item, pesanan tersebut akan selesai agak lama, jadi sambil menunggu, bagaimana kalau mereka parkir saja di tempat parkir dan kalau semua sudah beres, dia akan keluar dan memberikannya pada mereka?

Usulan itu tampaknya membuat mereka senang. Begitu mereka menuju tempat parkir, temanku langsung menelepon polisi, melapor bahwa ada sekelompok pria yang sedang high karena narkoba dan, tidak hanya menyetir dalam keadaan high, tapi mereka juga mengemudikan mobil yang tidak lulus uji, di tempat parkirnya. Polisi dengan senang hati mengirimkan squad terdekat untuk menangkap mereka. Temanku kemudian menutup telepon dan berkata, “Tak ada seorangpun boleh mengata-ngatai staff-ku dengan rasis.”

Kelompok sinting itu tidak pernah mendapat makanannya, tentu saja.


The Best Things I’ve Ever Said
By: Amy Samuelsson


Waktu itu aku masih baru lulus SMA, dan aku bekerja di Tim Hortons di salah satu kota terbesar di Kanada. Aku sudah bekerja di sana selama enam bulan dan biasanya ditugaskan di sandwich bar karena aku cukup cekatan membuat sandwich dan bisa menangani waktu sibuk saat makan siang ketika tidak ada orang lain yang bisa. Suatu hari, seorang customer—yang jelas tidak melihat (atau mempedulikan) tanda yang kami pasang bahwa kami hanya menerima Visa, bukan Mastercard—datang.

Pokoknya, akhirnya pria ini tiba di depan kasir (kasir kami saat itu adalah seorang gadis baru) dan memesan sup serta sandwich. Ketika dia membayar menggunakan kartu kredit, rekan kerjaku yang baru itu menginformasikan bahwa kami tidak menerima Mastercard. Pria ini MARAH padanya! Dia berdebat tentang hal itu selama bermenit-menit, sama sekali tidak memperhatikan bahwa antrian di belakangnya semakin panjang dan beberapa di antara mereka bahkan berkata bahwa dia yang salah, dsb dsb. Pria itu melontarkan ejekan rasis pada gadis baru itu, dan akhirnya dia membayar kontan. Gadis itu kelihatan sangat syok, tapi tetap terlihat baik sampai pria itu pergi dari hadapannya lalu lari ke belakang, kemungkinan besar untuk menangis.

Jadi kemudian pria ini datang padaku, langsung bertanya mengapa makanannya belum juga selesai (aku membuat makanan untuk drive-thru juga untuk bagian dalam toko, dan ada 8 pending order—TERCANTUM JELAS DI LAYAR KOMPUTER yang menghadap ke arahnya), kemudian merutuk bahwa aku tidak akan bekerja di sana kalau saja aku berkuliah.

Seketika itu juga aku benci pekerjaanku dan berpendapat bahwa pekerjaan itu tidak worth it untukku menghadapi feses semacam dia. Jadi kutatap dia tepat di mata (sambil memegang pisau, haha), kukatakan bahwa aku sedang dalam proses mendapatkan satu dari antara dua gelar yang kuincar, bahwa dia tidak akan bisa menjadi lebih pintar daripadaku, dan kukatakan padanya bahwa dia adalah jenis manusia paling biadab dan gajiku tidak cukup untuk menghadapi bajingan rasis yang memperlakukan orang lain semena-mena seperti dia, lalu menyuruhnya kembali ke kasir untuk mengembalikan uangnya karena uang itu tidak cukup untuk membayar waktuku. Pria lain yang sedang menunggu makanannya sampai bertepuk tangan.

Entah bagaimana, aku tidak pernah dipecat!


Bravo to the Officer!
By: Jason Frakes


Beberapa tahun lalu aku menjadi manager di sebuah restoran dengan bar & lounge. Hari Selasa adalah hari promosi murah sehingga hari itu bisa disebut gila karena pelanggan yang datang pasti banyak sekali, termasuk di bar & lounge-nya. Salah satu bartender sedang mencatat pesanan dari sebuah meja ketika seorang wanita di sebelahnya menjentik2an jari untuk menarik perhatian bartender. Si bartender melirik sekilas dan mengangkat tangan, gestur universal yang berarti ‘tunggu sebentar’ lalu fokus kembali pada meja yang sedang dia layani. Saat itu aku ada di belakang bar, mengamati dan melihat wanita itu mulai memukul2 meja. Bartender berkata, “Permisi sebentar,” pada meja yang dia layani, kemudian berbalik ke wanita yang sangat haus perhatian itu.

“Aku ingin Long Island lagi. Pastikan yang satu itu enaaaaaak. Aku tidak merasakan alkohol sama sekali di yang sebelumnya,” kata wanita itu padanya.

Sang bartender, dengan keramah-tamahan dan kesopanan yang patut kupuji, tersenyum, menulis pesanannya dan berkata, “Baik.” Kemudian dia berbalik ke meja yang sebelumnya dan berkata, “Maaf soal tadi, Anda pesan apa?”

Wanita kasar, penjentik jari, dan penggebuk meja itu hilang kendali. “Oh, tidak, b*tch! Kau tidak perlu meminta maaf pada mereka karena kau tidak bisa melakukan pekerjaan sialanmu!” (terj. dari: you can’t do your f*cking job!)

Hampir saja aku berlari saat menghampirinya, lalu berkata, dengan sangat sopan, bahwa aku adalah manager tempat itu dan meminta supaya dia tidak mengata-ngatai staff-ku seperti itu. Responnya hanya, “Aku tidak mengata-ngatai.”

“Nona, aku baru saja mendengar Anda meneriakan ‘f*ck’ pada staff-ku.” Tapi katanya kemudian, f*ck bukanlah kata kasar. Tidak, aku tidak bercanda. Katanya, f*ck bukan kata kasar

Lalu kubilang padanya agar tidak berperilaku seperti itu lagi. Responnya:

“Aku tidak melihat dimana masalahnya, Mr. Manager. Kalau saja kau melatih staff-mu lebih baik, tidak akan ada masalah.”

Di titik itu, kekesalanku mencapai batasnya. Jadi kukatakan padanya, “Menurut Anda kita sedang berdiskusi? Well, tidak. Jangan. Pernah. Mengata. Ngatai. Staff-ku. Jelas?”

“Kau pikir kau ini siapa bisa bilang begitu padaku?! Bukan kau pemilik tempat sialan ini! Kau tidak bisa mengatur apa yang bisa dan tidak bisa kulakukan!”

“Keluar.”

Sudahkah kubilang bahwa Selasa adalah hari yang gila? Cukup gila sampai-sampai sekuriti kami adalah polisi berseragam yang sedang off-duty. Wanita itu berteriak cukup keras hingga salah seorang polisi masuk untuk mencari tahu. Karena wanita itu duduk membelakangi pintu, dia tidak melihat polisi datang, tapi aku melihatnya.

Dia melanjutkan. “Kau mau mengusirku? Kurasa aku tidak mau pergi dan atasanmu tidak akan senang kalau kau menyentuhku. Apa yang bisa kaulakukan kira-kira?”

Aku menatap polisi yang sekarang telah berdiri di belakangnya, “Ini jadi pelanggaran kan?”

Polisi itu tersenyum singkat sebelum kembali tanpa-ekspresi. “Yep.”

Wanita itu melirik ke belakang, melihat polisi, kelihatan sedikit lemas, dan nadanya berubah jadi lebih lembut. “Kurasa aku akan pergi.”

Aku tersenyum dan berkata, “Aku segera kembali dengan bill Anda.”

Dia melotot, “Kau mengusirku dan ingin aku tetap membayar? F*ck you. Aku tak mau membayar apapun.”

Kutatap kembali polisi itu, “Pencurian?”

“Tergantung. Bisa jadi pemerasan. Biar kutahan saja dia dan pengacara bisa memilih besok pagi.”

Wanita itu kemudian segera membayar dan pergi.


Bad Hospitality? Nope
By: Doug Deadmoon


Aku bekerja di sebuah restoran di Lake Superior, Minnesota Utara.

Hari itu adalah hari Sabtu malam yang biasa di bulan Agustus. Bukan hal yang aneh jika terdapat antrian tunggu selama 1.5 sampai 2 jam di hari libur antara Memorial Day dan hari sekolah berlanjut di akhir musim panas. Beberapa pelanggan tidak keberatan menunggu; biasanya sambil menunggu mereka akan berjalan-jalan atau minum bir atau wine dan menikmati posisi kami di Lake Superior yang indah. Sementara itu, beberapa pelanggan lain tidak senang dengan lamanya waktu tunggu tersebut. Biasanya kami secara umum mengabaikan mereka karena cuma sedikit yang bisa kami lakukan untuk mereka. Makanya lama menunggu selama 2 jam itu dapat membuat pelanggan memiliki suasana hati buruk saat akhirnya mendapat meja. Rekan kerjaku baru saja melayani pelanggan yang demikian.

Pelanggan tersebut terdiri dari sebuah keluarga; ayah, ibu, dan 2 anak. Jelas bagi kami bahwa sang ayah dan ibu tidak terkesan dengan lamanya waktu menunggu sampai mendapatkan meja. Sebagai host, aku meminta maaf pada mereka, mengingatkan mereka bahwa aku sudah menginformasikan waktu tunggu selama dua jam tersebut dan memberitahukan bahwa pelayan akan datang sebentar lagi. Si pelayan (server) memang datang, memperkenalkan dirinya, dan mencatat pesanan mereka. Setelah membawakan minuman mereka, dia melayani meja lain.

Secara adil, memang waktu sudah berlalu cukup lama dan makanan mereka belum juga datang. Mereka marah2 pada waitress dan mengatakan betapa tidak puasnya mereka terhadap lamanya waktu untuk menunggu makan malam mereka. Sang waitress pun mengecek dapur dan mengetahui bahwa pesanan mereka diberikan ke pihak dapur tepat saat dapur sedang mengganti paper ribbon di printer mereka. Biasanya, pihak dapur selalu memberitahu pelayan di garis depan bahwa penggantian itu menyebabkan pesanan datang terlambat, tapi terkadang hal itu lupa mereka lakukan saking sibuknya. Waitress itu pun kembali ke meja mereka dan menginformasikan “miskomunikasi” tersebut. Tapi keluarga itu sama sekali tidak bersimpatik atau bahkan mau mengerti situasi yang telah terjadi. Mereka langsung meminta bertemu dengan manager.

Berhubung malam itu adalah malam yang sibuk, manager sebisa mungkin menenangkan mereka, menjelaskan bahwa semuanya adalah kesalahan di pihak waitress kami, dan pesanan mereka akan diprioritaskan. Ini, menurut mereka, tidaklah cukup. Kurasa kami bahkan sudah menawarkan minuman dan/atau appetizer gratis untuk menebus situasi tersebut. Lagi-lagi itu tidak cukup. Mereka jadi semakin tidak sabaran dan meminta nomor telepon rumah pemilik restoran. Dalam situasi tertentu, kami diberikan ijin untuk memberikan informasi tersebut, maka kami pun memberikannya pada mereka. Mereka lalu pergi, sambil mengancam akan menelepon majikan kami sesegera mungkin. Kami tidak memikirkannya lebih jauh dan menjalani sisa hari dengan normal.

Beberapa hari kemudian, sang pemilik mendapat telepon dari ibu di keluarga itu. Dia merasa bahwa waitress, yang melayani mereka di hari itu, menertawakan mereka di tengah2 kesalahpahaman tersebut (padahal tidak). Dia juga merasa bahwa managemen kami tidak melakukan apapun untuk memperbaiki situasi tersebut (padahal tidak). Akhirnya, dia membuat dua tuntutan pada sang pemilik: pertama, dia menginginkan makan malam gratis untuk keluarganya, paket lengkap (appetizer, main course, dessert, drinks). Kedua, dia menginginkan uang sebesar $100 untuk ketidak-nyamanan yang mereka alami. Yap; dia menginginkan sang pemilik membayar semacam “denda” untuk kesalahan simpel kami.

Sang pemilik, dengan tetap tenang, membalas, “Tentu, berikan padaku alamat suratmu dan aku akan mengirimkan cek sesegera mungkin!” Pelanggan itu terdengar puas dan menutup telepon.

Apa yang dia dapatkan, ternyata, mungkin membuatnya terkejut. Bosku mengirimkan semacam voucher untuk restoran yang terkenal memiliki reputasi buruk di kota itu, juga sebuah surat yang mengatakan bahwa mereka bukan klien yang pantas kami pedulikan dalam bisnis kami tapi mereka pasti cocok menjadi pelanggan untuk restoran buruk tersebut. Justice!


______________________________________


Ternyata meskipun slogan “pelanggan adalah raja” dijunjung tinggi (apalagi di luar negeri), rupanya kalau pihak yang melayani udah fed up dengan customer yang overly demanding apalagi ga punya attitude, mereka bisa membalas loh. Toh mereka juga manusia, punya batas kesabaran.

Sekian dulu post-an kali ini! Mungkin next post will be about the opposite of bad customer. Tunggu yah! Gue cari bahan dulu. Hehe.





N.B.
GUE BARU SADAR GATOMON ITU SUPER DUPER ULTRA HYPER KYUTO BANGEEEEEETTT!!!!!!!! <3 <3 <3
Karna gue emang ga terlalu ngikutin digimon, jadi gue pun gatau ada digimon kucing kyopta sampe cowo gue bilang, “Kamu gatau ada digimon kucing?” Maka diperkenalkanlah gue pada Gatomon ini.


Then I fell in love at the first sight. >w<


KYOPTA BANGET KAAAN?!?!?!
*too much cuteness*
*dies*

No comments:

Post a Comment