Hai, hai, hai! Kembali lagi bersama saya, idol imut bin cantik nan ajaib… Faaan!!
*pasang tameng, siapa tau dirajam sambel*
Kali ini gue mau menyampaikan kabar gembira
untuk kita semua, kulit manggis kini ada ekstraknya beberapa cerita soal pelanggan
restoran yang uju bilè nyebelin beud,
tapi kemudian di-counter attack ama
pihak restorannya. Mau tau kisah seru seperti apa yang terjadi? Let’s dive to the cases~!!
Do Not Ever Mess With My Boss
By: Paul Ziegler
Aku bekerja di sebuah Restoran/Bar Irlandia di
area Buffalo NY. Sang pemilik telah mengembangkan usaha ini dari sekedar
restoran dengan 20 kursi menjadi restoran yang sangat besar dan dikagumi.
Beliau sangat adi dalam menghadapi kami semua, para pekerja, dan sangat hebat
dalam menangani masalah dengan customer.
Tiap kali seorang customer punya
masalah, beliau langsung turun tangan, tidak pernah mengkambing-hitamkan para staff, dan sebagainya. Hal ini baik
untuk bisnisnya, tapi rupanya tetap saja ada 1 pelanggan menyebalkan selama
bertahun-tahun.
Pria yang menjadi langganan kami itu SELALU
menemukan kesalahan di makanannya. Dia selalu memesan makanannya secara take-out, dan begitu dia membuka
makanannya di rumah, dia menelepon balik dan protes bahwa ada yang salah atau
ada yang hilang di makanannya. Memang terkadang ada beberapa item yang lupa ditambahkan (acar,
kerupuk, kentang goreng), tapi pria ini selalu memesan saat dinner rush.
Sampai sang pemilik akhirnya memeriksa sendiri
tiap kontener makanan yang dipesan tepat di depan pria ini, untuk meyakini
bahwa makanannya sudah benar dan lengkap. Sejak saat itu pria ini jadi tidak
bisa protes lagi, jadi dia pun berpikir kreatif. Tiap kali menelepon untuk
memesan, dia selalu bertanya dulu, apakah sang pemilik sedang di tempat atau
tidak, baru dia memesan kalau sang pemilik sedang tidak ada. Tentu saja,
setelah makanan dia terima, dia akan pulang dan menelepon bahwa ada yang salah
di makanannya, dst dst.
Singkat cerita, Hari St. Patrick tiba dan hari
itu adalah hari tersibuk di restoran kami. Seminggu penuh musik Irlandia,
Guinness, makanan mengandung corned beef
dan kubis. Karena sudah beberapa kali menerima telepon dari pria ini, aku
langsung mengenali namanya. Aku memberi tahu koki bahwa aku akan menangani
sendiri pesanannya. Kupastikan pesanannya sempurna, dari kentang tambahan,
kerupuk tambahan, tanpa acar… pokoknya kupastikan pesanan ini perfect se-perfect-perfect-nya.
Pesanan itu pun diberikan dan pria itu pulang.
Kemudian bus penuh dengan rombongan orang2 yang baru pulang dari parade datang.
Semuanya mabuk dan senang. Sang pemilik pun kelihatan bahagia saat mengecek
kami semua yang sedang bekerja… sampai si tukang protes itu menelepon kami
kembali, bahwa makanan yang dia pesan semuanya salah. Sang pemilik mendatangiku
dan segera bertanya soal pesanannya. Kutunjukkan padanya catatanku soal pesanan
itu, termasuk tambahan2 yang dia pesan. Sang pemilik, karena sedikit mabuk,
mulai marah pada kami karena “kita semua tahu pria ini sangat pemilih dan dia
memesan banyak, sekarang dia bilang semuanya salah”. Sampai-sampai kutekankan
pada beliau bahwa aku membuat makanannya secara personal dan sudah memeriksa semuanya berulang-ulang.
“Kau membuat pesanan ini pribadi?”
“Ya, Sir, because
I know this guy is a f*cking *sshole.”
“Oke.”
Sang pemilik mengambil gagang telepon dan
berbicara pada si tukang protes itu dengan suara senang nan mabuk, “Kokiku
berkata bahwa dia yakin pesananmu 100% benar, karena dia berkata kau f*cking *sshole. Aku percaya padanya dan
bukan kau, f*ck you, jangan pernah
lagi memesan dari restoranku, you piece
of sh*t.”
Beliau membanting teleponnya dan kami semua
terdiam, speechless. Sangat tidak
seperti dia karena dia tidak pernah bicara seperti itu pada pelanggan. Seseorang
mulai tertawa dan akhirnya kami semua ikut tertawa serta bertepuk tangan. Sang
pemilik juga tertawa, tapi langsung beralih jadi serius, “Aku percaya pada
kalian, kalau tidak, aku tidak akan pernah melakukan itu.”
What a Tragic Fate
By: Jamie Park
Temanku bekerja selama bertahun-tahun sebagai
manager di McDonald. Suatu malam, beberapa pria datang di drive-thru, kelihatan sekali sedang high. Jelas mereka sedang ‘bersenang-senang’ dalam mobil sampai
asap mengepul tebal dari balik jendela yang terbuka. Mobil itu sendiri ada
stiker pink-nya, menandakan bahwa
mobil itu tidak lulus safety test dan seharusnya tidak dikendarai untuk
alasan apapun juga.
Kelompok ini memesan makanan bertotal $100.
Melihat petugas drive-thru yang
ragu-ragu mengonfirmasi pesanan karena mereka kelihatan jelas sedang high, mereka mulai merutuk dan
menyumpahi para staff, melontarkan
ejekan rasis yang keterlaluan.
Para staff
khawatir akan terjadi kekerasan, maka mereka memanggil temanku, sang manager,
untuk mengatasi situasi tersebut. Dia telah diberitahu mengenai semua yang
terjadi dan semua yang mereka katakan. Dia pun mendekati mereka dan berkata
bahwa karena mereka telah memesan banyak item,
pesanan tersebut akan selesai agak lama, jadi sambil menunggu, bagaimana kalau
mereka parkir saja di tempat parkir dan kalau semua sudah beres, dia akan
keluar dan memberikannya pada mereka?
Usulan itu tampaknya membuat mereka senang.
Begitu mereka menuju tempat parkir, temanku langsung menelepon polisi, melapor
bahwa ada sekelompok pria yang sedang high
karena narkoba dan, tidak hanya menyetir dalam keadaan high, tapi mereka juga mengemudikan mobil yang tidak lulus uji, di
tempat parkirnya. Polisi dengan senang hati mengirimkan squad terdekat untuk menangkap mereka. Temanku kemudian menutup
telepon dan berkata, “Tak ada seorangpun boleh mengata-ngatai staff-ku dengan rasis.”
Kelompok sinting itu tidak pernah mendapat
makanannya, tentu saja.
The Best Things I’ve Ever Said
By: Amy Samuelsson
Waktu itu aku masih baru lulus SMA, dan aku
bekerja di Tim Hortons di salah satu kota terbesar di Kanada. Aku sudah bekerja
di sana selama enam bulan dan biasanya ditugaskan di sandwich bar karena aku cukup cekatan membuat sandwich dan bisa menangani waktu sibuk saat makan siang ketika
tidak ada orang lain yang bisa. Suatu hari, seorang customer—yang jelas tidak melihat (atau mempedulikan) tanda yang
kami pasang bahwa kami hanya menerima Visa, bukan Mastercard—datang.
Pokoknya, akhirnya pria ini tiba di depan kasir
(kasir kami saat itu adalah seorang gadis baru) dan memesan sup serta sandwich. Ketika dia membayar
menggunakan kartu kredit, rekan kerjaku yang baru itu menginformasikan bahwa
kami tidak menerima Mastercard. Pria ini MARAH padanya! Dia berdebat tentang
hal itu selama bermenit-menit, sama sekali tidak memperhatikan bahwa antrian di
belakangnya semakin panjang dan beberapa di antara mereka bahkan berkata bahwa
dia yang salah, dsb dsb. Pria itu melontarkan ejekan rasis pada gadis baru itu,
dan akhirnya dia membayar kontan. Gadis itu kelihatan sangat syok, tapi tetap
terlihat baik sampai pria itu pergi dari hadapannya lalu lari ke belakang,
kemungkinan besar untuk menangis.
Jadi kemudian pria ini datang padaku, langsung
bertanya mengapa makanannya belum juga selesai (aku membuat makanan untuk drive-thru juga untuk bagian dalam toko,
dan ada 8 pending order—TERCANTUM
JELAS DI LAYAR KOMPUTER yang menghadap ke arahnya), kemudian merutuk bahwa aku
tidak akan bekerja di sana kalau saja aku berkuliah.
Seketika itu juga aku benci pekerjaanku dan
berpendapat bahwa pekerjaan itu tidak worth
it untukku menghadapi feses semacam dia. Jadi kutatap dia tepat di mata
(sambil memegang pisau, haha), kukatakan bahwa aku sedang dalam proses
mendapatkan satu dari antara dua gelar yang kuincar, bahwa dia tidak akan bisa
menjadi lebih pintar daripadaku, dan kukatakan padanya bahwa dia adalah jenis
manusia paling biadab dan gajiku tidak cukup untuk menghadapi bajingan rasis
yang memperlakukan orang lain semena-mena seperti dia, lalu menyuruhnya kembali
ke kasir untuk mengembalikan uangnya karena uang itu tidak cukup untuk membayar
waktuku. Pria lain yang sedang menunggu makanannya sampai bertepuk tangan.
Entah bagaimana, aku tidak pernah dipecat!
Bravo to the Officer!
By: Jason Frakes
Beberapa tahun lalu aku menjadi manager di
sebuah restoran dengan bar & lounge.
Hari Selasa adalah hari promosi murah sehingga hari itu bisa disebut gila
karena pelanggan yang datang pasti banyak sekali, termasuk di bar & lounge-nya. Salah satu
bartender sedang mencatat pesanan dari sebuah meja ketika seorang wanita di
sebelahnya menjentik2an jari untuk menarik perhatian bartender. Si bartender
melirik sekilas dan mengangkat tangan, gestur universal yang berarti ‘tunggu
sebentar’ lalu fokus kembali pada meja yang sedang dia layani. Saat itu aku ada
di belakang bar, mengamati dan melihat wanita itu mulai memukul2 meja.
Bartender berkata, “Permisi sebentar,” pada meja yang dia layani, kemudian
berbalik ke wanita yang sangat haus perhatian itu.
“Aku ingin Long Island lagi. Pastikan yang satu
itu enaaaaaak. Aku tidak merasakan alkohol sama sekali di yang sebelumnya,”
kata wanita itu padanya.
Sang bartender, dengan keramah-tamahan dan
kesopanan yang patut kupuji, tersenyum, menulis pesanannya dan berkata, “Baik.”
Kemudian dia berbalik ke meja yang sebelumnya dan berkata, “Maaf soal tadi,
Anda pesan apa?”
Wanita kasar, penjentik jari, dan penggebuk
meja itu hilang kendali. “Oh, tidak, b*tch!
Kau tidak perlu meminta maaf pada mereka karena kau tidak bisa melakukan
pekerjaan sialanmu!” (terj. dari: you
can’t do your f*cking job!)
Hampir saja aku berlari saat menghampirinya,
lalu berkata, dengan sangat sopan, bahwa aku adalah manager tempat itu dan
meminta supaya dia tidak mengata-ngatai staff-ku
seperti itu. Responnya hanya, “Aku tidak mengata-ngatai.”
“Nona, aku baru saja mendengar Anda meneriakan
‘f*ck’ pada staff-ku.” Tapi katanya kemudian, f*ck bukanlah kata kasar. Tidak, aku tidak bercanda. Katanya, f*ck bukan kata kasar
Lalu kubilang padanya agar tidak berperilaku
seperti itu lagi. Responnya:
“Aku tidak melihat dimana masalahnya, Mr.
Manager. Kalau saja kau melatih staff-mu
lebih baik, tidak akan ada masalah.”
Di titik itu, kekesalanku mencapai batasnya.
Jadi kukatakan padanya, “Menurut Anda kita sedang berdiskusi? Well, tidak. Jangan. Pernah. Mengata.
Ngatai. Staff-ku. Jelas?”
“Kau pikir kau ini siapa bisa bilang begitu
padaku?! Bukan kau pemilik tempat sialan ini! Kau tidak bisa mengatur apa yang
bisa dan tidak bisa kulakukan!”
“Keluar.”
Sudahkah kubilang bahwa Selasa adalah hari yang
gila? Cukup gila sampai-sampai sekuriti kami adalah polisi berseragam yang
sedang off-duty. Wanita itu berteriak
cukup keras hingga salah seorang polisi masuk untuk mencari tahu. Karena wanita
itu duduk membelakangi pintu, dia tidak melihat polisi datang, tapi aku
melihatnya.
Dia melanjutkan. “Kau mau mengusirku? Kurasa
aku tidak mau pergi dan atasanmu tidak akan senang kalau kau menyentuhku. Apa
yang bisa kaulakukan kira-kira?”
Aku menatap polisi yang sekarang telah berdiri
di belakangnya, “Ini jadi pelanggaran kan?”
Polisi itu tersenyum singkat sebelum kembali
tanpa-ekspresi. “Yep.”
Wanita itu melirik ke belakang, melihat polisi,
kelihatan sedikit lemas, dan nadanya berubah jadi lebih lembut. “Kurasa aku
akan pergi.”
Aku tersenyum dan berkata, “Aku segera kembali
dengan bill Anda.”
Dia melotot, “Kau mengusirku dan ingin aku
tetap membayar? F*ck you. Aku tak mau
membayar apapun.”
Kutatap kembali polisi itu, “Pencurian?”
“Tergantung. Bisa jadi pemerasan. Biar kutahan
saja dia dan pengacara bisa memilih besok pagi.”
Wanita itu kemudian segera membayar dan pergi.
Bad Hospitality? Nope
By: Doug Deadmoon
Aku bekerja di sebuah restoran di Lake
Superior, Minnesota Utara.
Hari itu adalah hari Sabtu malam yang biasa di
bulan Agustus. Bukan hal yang aneh jika terdapat antrian tunggu selama 1.5
sampai 2 jam di hari libur antara Memorial Day dan hari sekolah berlanjut di
akhir musim panas. Beberapa pelanggan tidak keberatan menunggu; biasanya sambil
menunggu mereka akan berjalan-jalan atau minum bir atau wine dan menikmati posisi kami di Lake Superior yang indah. Sementara itu,
beberapa pelanggan lain tidak senang dengan lamanya waktu tunggu tersebut. Biasanya kami
secara umum mengabaikan mereka karena cuma sedikit yang
bisa kami lakukan untuk mereka. Makanya lama menunggu selama 2 jam itu dapat
membuat pelanggan memiliki suasana hati buruk saat akhirnya mendapat meja. Rekan
kerjaku baru saja melayani pelanggan yang demikian.
Pelanggan tersebut terdiri dari sebuah
keluarga; ayah, ibu, dan 2 anak. Jelas bagi kami bahwa sang ayah dan ibu tidak
terkesan dengan lamanya waktu menunggu sampai mendapatkan meja. Sebagai
host, aku meminta maaf pada mereka,
mengingatkan mereka bahwa aku sudah menginformasikan waktu tunggu selama dua
jam tersebut dan memberitahukan bahwa pelayan akan datang sebentar lagi.
Si pelayan (server) memang datang,
memperkenalkan dirinya, dan mencatat pesanan mereka. Setelah membawakan minuman
mereka, dia melayani meja lain.
Secara adil, memang waktu sudah berlalu cukup
lama dan makanan mereka belum juga datang. Mereka marah2 pada waitress dan mengatakan betapa tidak
puasnya mereka terhadap lamanya waktu untuk menunggu makan malam mereka. Sang waitress pun mengecek dapur dan
mengetahui bahwa pesanan mereka diberikan ke pihak dapur tepat saat dapur
sedang mengganti paper ribbon di
printer mereka. Biasanya, pihak dapur selalu memberitahu pelayan di garis depan
bahwa penggantian itu menyebabkan pesanan datang terlambat, tapi terkadang hal
itu lupa mereka lakukan saking sibuknya. Waitress
itu pun kembali ke meja mereka dan menginformasikan “miskomunikasi” tersebut. Tapi
keluarga itu sama sekali tidak bersimpatik atau bahkan mau mengerti situasi
yang telah terjadi. Mereka langsung meminta bertemu dengan manager.
Berhubung malam itu adalah malam
yang sibuk, manager sebisa mungkin menenangkan mereka, menjelaskan bahwa
semuanya adalah kesalahan di pihak waitress
kami, dan pesanan mereka akan diprioritaskan. Ini, menurut mereka, tidaklah cukup. Kurasa kami bahkan sudah menawarkan minuman
dan/atau appetizer gratis untuk
menebus situasi tersebut. Lagi-lagi itu tidak cukup. Mereka jadi semakin tidak
sabaran dan meminta nomor telepon rumah pemilik restoran. Dalam situasi
tertentu, kami diberikan ijin untuk memberikan informasi tersebut, maka kami
pun memberikannya pada mereka. Mereka lalu pergi, sambil mengancam akan
menelepon majikan kami sesegera mungkin. Kami tidak memikirkannya lebih jauh
dan menjalani sisa hari dengan normal.
Beberapa hari kemudian, sang
pemilik mendapat telepon dari ibu di keluarga itu. Dia merasa bahwa waitress, yang melayani mereka di hari
itu, menertawakan mereka di tengah2 kesalahpahaman tersebut (padahal tidak). Dia
juga merasa bahwa managemen kami tidak melakukan apapun untuk memperbaiki
situasi tersebut (padahal tidak). Akhirnya, dia membuat dua tuntutan
pada sang pemilik: pertama, dia menginginkan makan malam gratis untuk
keluarganya, paket lengkap (appetizer,
main course, dessert, drinks). Kedua, dia menginginkan uang sebesar $100
untuk ketidak-nyamanan yang mereka alami. Yap; dia menginginkan sang pemilik
membayar semacam “denda” untuk kesalahan simpel kami.
Sang pemilik, dengan tetap
tenang, membalas, “Tentu, berikan padaku alamat suratmu dan aku akan
mengirimkan cek sesegera mungkin!” Pelanggan itu terdengar puas dan menutup
telepon.
Apa yang dia dapatkan, ternyata,
mungkin membuatnya terkejut. Bosku mengirimkan semacam voucher untuk restoran yang terkenal memiliki reputasi buruk di kota itu, juga sebuah surat yang
mengatakan bahwa mereka bukan klien yang pantas kami pedulikan dalam bisnis kami tapi mereka pasti cocok menjadi pelanggan untuk restoran buruk tersebut. Justice!
______________________________________
Ternyata meskipun slogan “pelanggan
adalah raja” dijunjung tinggi (apalagi di luar negeri), rupanya kalau pihak
yang melayani udah fed up dengan customer yang overly demanding apalagi ga punya attitude, mereka bisa membalas loh. Toh mereka juga manusia, punya
batas kesabaran.
Sekian dulu post-an kali ini!
Mungkin next post will be about the opposite of bad customer.
Tunggu yah! Gue cari bahan dulu. Hehe.
N.B.
GUE BARU SADAR GATOMON ITU SUPER
DUPER ULTRA HYPER KYUTO BANGEEEEEETTT!!!!!!!! <3 <3 <3
Karna gue emang ga terlalu
ngikutin digimon, jadi gue pun gatau ada digimon kucing kyopta sampe cowo gue
bilang, “Kamu gatau ada digimon kucing?” Maka diperkenalkanlah gue pada Gatomon
ini.
Then I fell in love at the first
sight. >w<
KYOPTA BANGET KAAAN?!?!?! *too much cuteness* *dies* |
No comments:
Post a Comment