Gue berpikir
gimana kalo bulan ini kita jadiin Bulan Makanan?
Yep. Ide gue
memang bagus. *siap2 dirempuk cengek*
Dengan
menganak-tirikan post-an sebelumnya yang mengandung horrorisme, mari kita mulai
Bulan Makanan ini dengan cerita-cerita tentang pelanggan2 (customer) yang aneh
bin nyebelin. Semuanya bukan kisah gue, tapi kisah orang2 yang bekerja di
restoran atau bahkan pelanggan lain yang ngeliat kejadian nyebelin di tempat
makan.
Let’s check
it out!
Shake-Confused
By: Alex
Nystrom
Waktu aku
masih remaja, aku bekerja di sebuah tempat es krim yang cukup besar selama musim
panas. Suatu siang, aku baru saja selesai makan siang dan hendak kembali ke
belakang counter ketika aku melihat
ada ibu-ibu bergegas masuk sambil membawa sekantong besar paper bag dengan logo toko kami. Aku langsung was-was, soalnya ini
kan toko es krim. Siapa yang mau meretur es krim? Setidaknya tidak
ada seorangpun, sampai sekarang. Aku pun menyiapkan diri.
Perlu
dicatat bahwa saat itu yang ada di belakang counter
adalah supervisor (yang umurnya masih 20an), seorang cewe yang baru bekerja
disana selama beberapa minggu, juga ada dua customer yang sedang melihat2 kue
di display case.
Pokoknya,
Ibu Marah itu MEMBANTING kantongnya di counter
dan berteriak, “SIAPA YANG TADI TUGAS DI DRIVE-THRU?!”
Karena aku baru saja istirahat, aku sama sekali tidak tahu siapa yang bertugas
di sana, jadi aku hanya bisa menatap supervisor untuk meminta jawaban sampai-sampai
aku habis dimuncrati ludah si Ibu Marah. “SIAPA TADI? ELU YA?” teriaknya.
“Maaf, Bu,
saya baru saja dari lantai atas, tap—” Sebelum aku selesai bicara, ibu itu
memajukan badannya melewati counter
dan menatap tajam ke rekan kerjaku yang malang, yang sedang membersihkan counter dalam diam. “ELU,” dia teriak,
sambil nunjuk-nunjuk, “ELU YANG TADI TUGAS DI DRIVE-THRU.” Saat itu seluruh toko terdiam. Rekan kerjaku yang baru
itu sampai melangkah mundur, berusaha menjauhi ibu-ibu itu, yang sekarang terus
menjerit2 soal pelayanan parah yang dia terima. Supervisorku akhirnya berhasil
menarik perhatian si ibu itu dan bertanya, “Bu, sebenarnya ada masalah apa?”
Si ibu itu pun
membalas, “SAYA TADI PESAN 10 SUNDAE
DAN TIDAK MENDAPAT SEDOTAN SATU PUN!”
Supervisorku
ternganga. “...Sedotan?”
Tiba-tiba
ibu-ibu itu berubah, dari marah jadi SUPERMARAHKDJFANAIUR1283913U0J;LSK,
mengambil paper bag-nya yang penuh berisi
sundae dan mulai memukulkan paper bag itu ke counter, tepat di depanku. “SAYA [BRAK] SAMA [BRAK] SEKALI [BRAK]
TIDAK [BRAK] DAPAT [BRAK] SEDOTAN!!”
Di saat itu,
aku berusaha menghindari lelehan es krim yang muncrat keluar dari paper bag rusak dan customer2 lain telah kabur
menyelamatkan diri. Kami pun berusaha meyakinkan si ibu bahwa sedotan tidak dimaksudkan untuk sundae
(aku sendiri tidak tahu kenapa sampai saat itu kami belum juga mengusir dia, mungkin
karena kami terlalu syok) tapi ibu itu tetap menjerit2 sambil membanting2 paper bag-nya, sampai seluruh counter penuh dengan es krim.
Akhirnya ibu itu lari keluar toko, menjerit, “TAHU TIDAK SAYA ITU PELANGGAN SETIA
KALIAN BRENGSEK TA* KALIAN SEMUA SAYA PANGGIL MANAGER DIA TAHU SAYA bla bla bla
bla”
Kami semua
terdiam, toko menjadi sunyi, hanya terdengar suara tetesan es krim yang
meleleh ke lantai. Kemudian kami sadar bahwa isi paper
bag itu sebenarnya milkshake.
SEMUANYA milkshake. Entah mengapa ibu
tadi bersikeras menyebut itu sundae.
Setelah ditanya
lebih jauh, ternyata yang sebenarnya terjadi adalah; cewe baru itu memberikan
sekantong milkshake pada si ibu di drive-thru, tapi sebelum dia sempat memberikan
setumpuk tisu dan sedotan, ibu itu sudah terlanjur pergi. Namun itu bukan
masalah lagi sekarang. Supervisorku hanya bisa terdiam, si cewe baru menangis
karena syok, sementara aku tertawa habis-habisan.
Sandwich
Masa Lalu
By: Jenny
Rhys
Beberapa
tahun yang lalu aku bekerja di sebuah restoran fast-food yang produk utamanya adalah daging beserta sandwich.
Suatu hari
seorang wanita yang agak tua berjalan ke counter
dan memesan corned beef. Aku pun
memberikan pesanannya, dan beliau udah memakan setengah porsi ketika
ekspresinya berubah menjadi bingung. Aku bertanya apa dia butuh sesuatu, dan
dia berkata, “Kenapa ini rasanya tidak sama sepertI corned beef yang saya makan di New York dua-puluh-lima tahun lalu?”
Aku
menjawab, “Sejujurnya saya tidak tahu, Bu. Apa yang berbeda?”
Dia menatapku
seolah2 aku ini lebih hina dari seonggok permen karet yang udah terinjak, lalu meminta
bertemu dengan managerku.
Waktu
manager datang, ibu itu menuntut, “Kenapa ini rasanya berbeda dengan corned beef yang saya makan dua-puluh-lima
tahun lalu di New York?” Manager pun menjawab sebaik mungkin, “Saya tidak tahu,
saya tidak disana dua-puluh-lima tahun lalu. Saya juga tidak pernah ke New
York. Apa Anda yakin yang Anda ingat itu corned
beef?”
Ibu itu
mulai mengamuk, menjerit bahwa semua orang di restoran ini tol*l, karena kalau
kami belum pernah ke New York, maka kami tidak tahu apa-apa soal daging.
Kemudian dia melempar sandwich yang
baru setengah dimakan itu ke manager dan berlari keluar.
Bakar Saja
Mereka
By: Jeanette
McAndrews
Suatu waktu aku
dan temanku makan di sebuah restoran wings
dan kentang goreng. Kami mau tak mau sadar bahwa meja dekat kami ditempati oleh
sekelompok remaja kasar yang menyulitkan waitress
di tempat itu. Mereka komplen soal sepotong kentang goreng yang ada bintik
hitamnya. Kalian tahu, bintik hitam itu ada setidaknya satu di setiap keranjang
kentang karena kentang gampang memar. Sang waitress
menjelaskan bahwa itu hanya bekas hangus, dan dia bahkan membawakan mereka
sepiring kentang goreng baru.
Seorang cewe
yang paling berisik di grup itu berpendapat itu semua belum cukup. Dia
bersikeras bahwa semua yang mereka makan seharusnya gratis karena kentang tadi
bukannya hangus, melainkan 'busuk' dan mereka telah disuguhi makanan
'berbahaya'. Dia mulai menyerocos soal ayahnya yang memiliki bisnis restoran
yang sama makanya dia tahu bahwa pelanggan selalu benar.
Waitress itu (yang amat profesional dan
super baik sepanjang waktu) memanggil manager, yang ternyata sedaritadi
mendengarkan semuanya. Dia setuju menggratiskan sepiring makanan, tapi bukan
semuanya. Si Cewe Berisik itu tidak senang. Dia dan teman2nya membuat keributan,
intinya mereka tidak akan meninggalkan
tempat itu sebelum mendapat apa yang mereka inginkan. Sampai satu titik dimana
mereka meminta kembali sepiring kentang goreng yang ada bintik hitamnya. Sang waitress, yang rupanya sudah habis
sabar, bertanya, “Kenapa? Memangnya kalian mau makan itu?”
Si Cewe
Berisik membalas, “Ngga, gue mau suruh elu yang makan.”
Sang waitress pergi dan berkata pada managernya
bahwa dia tidak mau lagi kembali ke meja itu. Tak lama setelahnya, manager
mengancam akan menelepon polisi, sehingga kelompok itu akhirnya membayar
semuanya tapi tidak meninggalkan tip. Di lain pihak, aku dan temanku memberikan
banyak tip dan memuji waitress itu.
So Smart
By: Ruth
Cameron
Suatu malam,
di restoran tempatku bekerja, sebuah keluarga tetap tinggal di kursi mereka
selama tiga jam (padahal rata-rata penempatan meja berkisar satu jam lebih) dan
telah menghabiskan beberapa botol wine.
Saat akan meninggalkan tempat, sang ayah mendadak sadar bahwa jaketnya
menghilang. Dia bersumpah telah menyampirkan jaketnya di tempat mereka duduk.
Dia langsung menuduh bahwa jaketnya dicuri dan restoran kami buruk. Ancaman
epik-nya dimulai dengan menelepon polisi, dan sementara managerku sedang
memeriksa CCTV, dia mengancam akan memanggil FBI juga karena dia pikir kami
“kurang peduli”. Polisi pun tiba, dan
ketika mencatat laporannya, entah bagaimana mereka akhirnya mengerti bahwa
jaket itu ternyata tertinggal di taksi yang mereka tumpangi sebelum datang ke
restoran ini.
Pria itu
masuk kembali ke restoran dan memesan segelas wine sambil menunggu. Ketika taksi yang dimaksud tiba, seorang
polisi mengantarkan jaketnya padanya. Saat itu, GM (general manager) kami memberikan bill-nya; yang totalnya $350.
Nah,
seharusnya di saat seperti inilah seorang yang waras meminta maaf dan membayar
tagihannya lalu pergi, tapi lain halnya dengan pria ini. Dia malah bersikeras
bahwa dia tidak seharusnya membayar karena semua masalah jaket tadi sudah
membuatnya kesal. Tapi manager kami juga bersikeras dia harus membayar, maka
pria itu mengancam akan memanggil polisi lagi. Kami semua berkata, “Silakan
saja,” dan hendak membantunya memanggil polisi ketika akhirnya dia pun membayar
tagihannya. Tentu saja dia tidak membayar tip (setelah 3 jam diam dan tambahan
2 jam meneror seluruh restoran). Tapi hal yang paling lucu adalah, setelah
semua ocehan gilanya tentang betapa seharusnya dia tidak perlu membayar, dia
berkata pada manager, “Kalau saja kau kenal aku, kau akan tahu bahwa aku
sebenarnya pelanggan yang baik.”
Overly
Attached
By: Casey
Saat itu
hari yang panas di California Selatan, dan tinggal sepuluh menit lagi sebelum shift-ku hari itu selesai di Starbucks. Aku
sangat semangat siang itu, berencana untuk menemui pacarku setelah bekerja dan aku
sudah menyiapkan baju bagus untuk kencan nanti.
Kemudian
cewe itu datang.
Cewe ini
kadang kulihat datang siang-siang (karena sebelum menjadi barista, tugasku adalah
membukakan pintu masuk). Tapi aku tau apa yang biasanya dipesan cewe ini, meski
aku tidak tau seberapa buruk pesanannya itu. Biasanya dia memesan segelas
Caramel Frappuccino Venti dengan tambahan dua shot espresso, yang membuat minuman itu naik level, dari
menjijikkan sampai beyond menjijikan
dan baunya seperti kentut anjing. Tentu saja, dia benar-benar memesan minuman
itu dan aku pun membuatnya, tak terpengaruh saat mencium bau menyengat espresso
bercampur Frap base.
“Kasih
KARAMEL TAMBAHAN,” kata cewe itu,
berusaha mengintipku melewati divider.
Matanya selalu mengikuti semua pergerakanku dan kadang mengangguk setuju. Aku
menambahkan banyak sirup karamel dan menyiapkan sebotol saus karamel sambil
menunggu minumannya tercampur.
“SAYA SANGAT
SUKA KARAMEL!” cewe itu mengingatkan, empat detik kemudian. “Jadi pastikan ada
banyak TAMBAHAN KARAMEL DI MINUMANKU!”
Aku
meyakinkan dia bahwa aku akan menambahkan banyak-banyak dan dia semakin rapat
menekan divider supaya bisa melihat
pekerjaanku lebih jelas. Saat aku sudah menuang minumannya ke gelas, mendadak
dia berteriak, “TUNGGU! Saya mau karamel di gelasnya.”
Permintaan itu
adalah hal yang biasa, meski tetap saja menjijikan. Aku pun menurut, menuangkan
minumannya kembali ke blender dan menambahkan banyak sekali saus karamel di
sisi dalam gelas.
“LAGI!”
katanya.
“Oke, tapi
saya sudah menambahkan karamel juga di minumannya,” kataku, takut minumannya
jadi terlalu berasa karamel. Rupanya ucapanku itu malah membuat dia semakin
histeris. “Makanya saya bilang tambahkan karamel! Makanya saya memesan
espresso! TAMBAHKAN KARAMEL TAMBAHKAN KARAMEL!”
AKhirnya sisi
dalam gelas benar-benar terselimuti karamel dengan kira-kira ¼ inci saus
menumpuk di dasar gelas. Aku menuang minumannya ke dalam gelas, memberikan whipped cream dan menambahkan saus
karamel lagi di atasnya sebelum cewe itu protes lagi. Masalahnya, botol karamelku
sudah habis sekarang dan aku harus mengisinya lagi.
“Tunggu
sebentar,” kataku padanya, pergi ke belakang untuk mengambil sekantung saus
karamel baru. Aku mendengar dia bertanya pada rekan kerjaku, “Bisa tidak kau
pastikan dia memberikan karamel di atas minuman saya?” dan saat itu aku benar-benar
ingin mencekik dia dengan minumannya. Jadi aku bergegas keluar dengan membawa
kantung saus itu, dan me-refill botol di luar. Sampai botolku penuh, masih ada
sisa kira-kira ¼ karamel di dalam kantung. Aku tahu, AKU TAHU pasti Karamel Golem
ini akan bertanya soal kantung karamel ini. Aku menyiapkan diri sambil menutup
gelas dan menaruhnya di bar.
Meskipun aku udah tahu bakal seperti apa pembicaraan selanjutnya, tetap saja aku
terkejut saat dia meminta kantung karamel itu.
“Saya tidak
bisa memberikannya, Bu, maaf!”
Aku pun
beralih ke belakang untuk berberes dan berganti baju ketika kemudian aku
mendengar bunyi barang2 jatuh di depan. Aku segera berlari keluar dan
oke, cewe tadi ternyata sedang mencoba meraih kantung karamel itu sehingga menyenggol setumpuk pitcher bersih
dan persediaan lainnya. Setengah badannya sudah melewati bar waktu rekan kerjaku yang malang mencoba mengontrol situasi.
“Bu, Anda
harus pergi sekarang. Perilaku ini tidak bisa diterima dan Anda membuat kami
semua tidak nyaman,” kubilang padanya.
“Berikan
padaku kantung sialan itu!”
“Bu, saya
akan menambahkan karamel lagi di minuman Anda tapi saya tidak bisa memberikan
persediaan kami begitu saja. Kami sudah bersikap sopan pada Anda dan sekarang
saya harus meminta Anda untuk PERGI.”
Dia pun
berdiri tegang, mengambil minumannya, dan menatapku tajam. “Kau. Pelacur.
SIALAN!” jeritnya, lalu melempar minumannya ke arahku.
Minuman itu
tentu membuatku basah kuyup. Aku terdiam, mengambil napas panjang sehingga aku
tidak melompati bar dan menyerang
dia. Sebelum sempat aku melakukan apapun, cewe itu sudah berbalik dan berlari
pergi.
Pacarku tiba
beberapa menit kemudian dan membantu kami membersihkan semuanya, tapi ughhhh...
aku ingin menangis dan sebagainya. Besoknya, managerku memberi tau bahwa dia sudah
mendapatkan informasi tentang cewe itu lewat kartu kreditnya dan melaporkan
semuanya pada polisi. Aku tidak tau apa yang terjadi selanjutnya, tapi
pokoknya, cewe itu tidak pernah muncul kembali selama aku bekerja di sana.
________________________________
Setelah
membaca semua ini, pesan dari gue adalah: JANGAN JADI KONSUMEN YANG NYEBELIN
kaya mereka yang di atas ini. Pikirkanlah bahwa seraja-rajanya elu sebagai
pihak yang dilayani, pegawai yang melayani elu juga manusia dan punya hak
asasi. Memang mereka (kasarnya) butuh duit elu, tapi tanpa mereka pun lu semua
ga bisa bersenang-senang di luaran sana.
Lots of
things learned by going outside, but being a jerk is not one of them.
Think
smart, do smart.
Sekian dan
terima kasih. Salam keju!
No comments:
Post a Comment