Wednesday, August 5, 2015

5 Stories About Devil Customers

Gue berpikir gimana kalo bulan ini kita jadiin Bulan Makanan?

Yep. Ide gue memang bagus. *siap2 dirempuk cengek*

Dengan menganak-tirikan post-an sebelumnya yang mengandung horrorisme, mari kita mulai Bulan Makanan ini dengan cerita-cerita tentang pelanggan2 (customer) yang aneh bin nyebelin. Semuanya bukan kisah gue, tapi kisah orang2 yang bekerja di restoran atau bahkan pelanggan lain yang ngeliat kejadian nyebelin di tempat makan.

Let’s check it out!




Shake-Confused
By: Alex Nystrom


Waktu aku masih remaja, aku bekerja di sebuah tempat es krim yang cukup besar selama musim panas. Suatu siang, aku baru saja selesai makan siang dan hendak kembali ke belakang counter ketika aku melihat ada ibu-ibu bergegas masuk sambil membawa sekantong besar paper bag dengan logo toko kami. Aku langsung was-was, soalnya ini kan toko es krim. Siapa yang mau meretur es krim? Setidaknya tidak ada seorangpun, sampai sekarang. Aku pun menyiapkan diri.

Perlu dicatat bahwa saat itu yang ada di belakang counter adalah supervisor (yang umurnya masih 20an), seorang cewe yang baru bekerja disana selama beberapa minggu, juga ada dua customer yang sedang melihat2 kue di display case.

Pokoknya, Ibu Marah itu MEMBANTING kantongnya di counter dan berteriak, “SIAPA YANG TADI TUGAS DI DRIVE-THRU?!” Karena aku baru saja istirahat, aku sama sekali tidak tahu siapa yang bertugas di sana, jadi aku hanya bisa menatap supervisor untuk meminta jawaban sampai-sampai aku habis dimuncrati ludah si Ibu Marah. “SIAPA TADI? ELU YA?” teriaknya.

“Maaf, Bu, saya baru saja dari lantai atas, tap—” Sebelum aku selesai bicara, ibu itu memajukan badannya melewati counter dan menatap tajam ke rekan kerjaku yang malang, yang sedang membersihkan counter dalam diam. “ELU,” dia teriak, sambil nunjuk-nunjuk, “ELU YANG TADI TUGAS DI DRIVE-THRU.” Saat itu seluruh toko terdiam. Rekan kerjaku yang baru itu sampai melangkah mundur, berusaha menjauhi ibu-ibu itu, yang sekarang terus menjerit2 soal pelayanan parah yang dia terima. Supervisorku akhirnya berhasil menarik perhatian si ibu itu dan bertanya, “Bu, sebenarnya ada masalah apa?”

Si ibu itu pun membalas, “SAYA TADI PESAN 10 SUNDAE DAN TIDAK MENDAPAT SEDOTAN SATU PUN!”

Supervisorku ternganga. “...Sedotan?”

Tiba-tiba ibu-ibu itu berubah, dari marah jadi SUPERMARAHKDJFANAIUR1283913U0J;LSK, mengambil paper bag-nya yang penuh berisi sundae dan mulai memukulkan paper bag itu ke counter, tepat di depanku. “SAYA [BRAK] SAMA [BRAK] SEKALI [BRAK] TIDAK [BRAK] DAPAT [BRAK] SEDOTAN!!”

Di saat itu, aku berusaha menghindari lelehan es krim yang muncrat keluar dari paper bag rusak dan customer2 lain telah kabur menyelamatkan diri. Kami pun berusaha meyakinkan si ibu bahwa sedotan tidak dimaksudkan untuk sundae (aku sendiri tidak tahu kenapa sampai saat itu kami belum juga mengusir dia, mungkin karena kami terlalu syok) tapi ibu itu tetap menjerit2 sambil membanting2 paper bag-nya, sampai seluruh counter penuh dengan es krim. Akhirnya ibu itu lari keluar toko, menjerit, “TAHU TIDAK SAYA ITU PELANGGAN SETIA KALIAN BRENGSEK TA* KALIAN SEMUA SAYA PANGGIL MANAGER DIA TAHU SAYA bla bla bla bla”

Kami semua terdiam, toko menjadi sunyi, hanya terdengar suara tetesan es krim yang meleleh ke lantai. Kemudian kami sadar bahwa isi paper bag itu sebenarnya milkshake. SEMUANYA milkshake. Entah mengapa ibu tadi bersikeras menyebut itu sundae.

Setelah ditanya lebih jauh, ternyata yang sebenarnya terjadi adalah; cewe baru itu memberikan sekantong milkshake pada si ibu di drive-thru, tapi sebelum dia sempat memberikan setumpuk tisu dan sedotan, ibu itu sudah terlanjur pergi. Namun itu bukan masalah lagi sekarang. Supervisorku hanya bisa terdiam, si cewe baru menangis karena syok, sementara aku tertawa habis-habisan.


Sandwich Masa Lalu
By: Jenny Rhys


Beberapa tahun yang lalu aku bekerja di sebuah restoran fast-food yang produk utamanya adalah daging beserta sandwich.

Suatu hari seorang wanita yang agak tua berjalan ke counter dan memesan corned beef. Aku pun memberikan pesanannya, dan beliau udah memakan setengah porsi ketika ekspresinya berubah menjadi bingung. Aku bertanya apa dia butuh sesuatu, dan dia berkata, “Kenapa ini rasanya tidak sama sepertI corned beef yang saya makan di New York dua-puluh-lima tahun lalu?”

Aku menjawab, “Sejujurnya saya tidak tahu, Bu. Apa yang berbeda?”

Dia menatapku seolah2 aku ini lebih hina dari seonggok permen karet yang udah terinjak, lalu meminta bertemu dengan managerku.

Waktu manager datang, ibu itu menuntut, “Kenapa ini rasanya berbeda dengan corned beef yang saya makan dua-puluh-lima tahun lalu di New York?” Manager pun menjawab sebaik mungkin, “Saya tidak tahu, saya tidak disana dua-puluh-lima tahun lalu. Saya juga tidak pernah ke New York. Apa Anda yakin yang Anda ingat itu corned beef?”

Ibu itu mulai mengamuk, menjerit bahwa semua orang di restoran ini tol*l, karena kalau kami belum pernah ke New York, maka kami tidak tahu apa-apa soal daging. Kemudian dia melempar sandwich yang baru setengah dimakan itu ke manager dan berlari keluar.


Bakar Saja Mereka
By: Jeanette McAndrews


Suatu waktu aku dan temanku makan di sebuah restoran wings dan kentang goreng. Kami mau tak mau sadar bahwa meja dekat kami ditempati oleh sekelompok remaja kasar yang menyulitkan waitress di tempat itu. Mereka komplen soal sepotong kentang goreng yang ada bintik hitamnya. Kalian tahu, bintik hitam itu ada setidaknya satu di setiap keranjang kentang karena kentang gampang memar. Sang waitress menjelaskan bahwa itu hanya bekas hangus, dan dia bahkan membawakan mereka sepiring kentang goreng baru.

Seorang cewe yang paling berisik di grup itu berpendapat itu semua belum cukup. Dia bersikeras bahwa semua yang mereka makan seharusnya gratis karena kentang tadi bukannya hangus, melainkan 'busuk' dan mereka telah disuguhi makanan 'berbahaya'. Dia mulai menyerocos soal ayahnya yang memiliki bisnis restoran yang sama makanya dia tahu bahwa pelanggan selalu benar.

Waitress itu (yang amat profesional dan super baik sepanjang waktu) memanggil manager, yang ternyata sedaritadi mendengarkan semuanya. Dia setuju menggratiskan sepiring makanan, tapi bukan semuanya. Si Cewe Berisik itu tidak senang. Dia dan teman2nya membuat keributan, intinya mereka  tidak akan meninggalkan tempat itu sebelum mendapat apa yang mereka inginkan. Sampai satu titik dimana mereka meminta kembali sepiring kentang goreng yang ada bintik hitamnya. Sang waitress, yang rupanya sudah habis sabar, bertanya, “Kenapa? Memangnya kalian mau makan itu?”

Si Cewe Berisik membalas, “Ngga, gue mau suruh elu yang makan.”

Sang waitress pergi dan berkata pada managernya bahwa dia tidak mau lagi kembali ke meja itu. Tak lama setelahnya, manager mengancam akan menelepon polisi, sehingga kelompok itu akhirnya membayar semuanya tapi tidak meninggalkan tip. Di lain pihak, aku dan temanku memberikan banyak tip dan memuji waitress itu.


So Smart
By: Ruth Cameron


Suatu malam, di restoran tempatku bekerja, sebuah keluarga tetap tinggal di kursi mereka selama tiga jam (padahal rata-rata penempatan meja berkisar satu jam lebih) dan telah menghabiskan beberapa botol wine. Saat akan meninggalkan tempat, sang ayah mendadak sadar bahwa jaketnya menghilang. Dia bersumpah telah menyampirkan jaketnya di tempat mereka duduk. Dia langsung menuduh bahwa jaketnya dicuri dan restoran kami buruk. Ancaman epik-nya dimulai dengan menelepon polisi, dan sementara managerku sedang memeriksa CCTV, dia mengancam akan memanggil FBI juga karena dia pikir kami “kurang peduli”.  Polisi pun tiba, dan ketika mencatat laporannya, entah bagaimana mereka akhirnya mengerti bahwa jaket itu ternyata tertinggal di taksi yang mereka tumpangi sebelum datang ke restoran ini.

Pria itu masuk kembali ke restoran dan memesan segelas wine sambil menunggu. Ketika taksi yang dimaksud tiba, seorang polisi mengantarkan jaketnya padanya. Saat itu, GM (general manager) kami memberikan bill-nya; yang totalnya $350.

Nah, seharusnya di saat seperti inilah seorang yang waras meminta maaf dan membayar tagihannya lalu pergi, tapi lain halnya dengan pria ini. Dia malah bersikeras bahwa dia tidak seharusnya membayar karena semua masalah jaket tadi sudah membuatnya kesal. Tapi manager kami juga bersikeras dia harus membayar, maka pria itu mengancam akan memanggil polisi lagi. Kami semua berkata, “Silakan saja,” dan hendak membantunya memanggil polisi ketika akhirnya dia pun membayar tagihannya. Tentu saja dia tidak membayar tip (setelah 3 jam diam dan tambahan 2 jam meneror seluruh restoran). Tapi hal yang paling lucu adalah, setelah semua ocehan gilanya tentang betapa seharusnya dia tidak perlu membayar, dia berkata pada manager, “Kalau saja kau kenal aku, kau akan tahu bahwa aku sebenarnya pelanggan yang baik.”


Overly Attached
By: Casey


Saat itu hari yang panas di California Selatan, dan tinggal sepuluh menit lagi sebelum shift-ku hari itu selesai di Starbucks. Aku sangat semangat siang itu, berencana untuk menemui pacarku setelah bekerja dan aku sudah menyiapkan baju bagus untuk kencan nanti.

Kemudian cewe itu datang.

Cewe ini kadang kulihat datang siang-siang (karena sebelum menjadi barista, tugasku adalah membukakan pintu masuk). Tapi aku tau apa yang biasanya dipesan cewe ini, meski aku tidak tau seberapa buruk pesanannya itu. Biasanya dia memesan segelas Caramel Frappuccino Venti dengan tambahan dua shot espresso, yang membuat minuman itu naik level, dari menjijikkan sampai beyond menjijikan dan baunya seperti kentut anjing. Tentu saja, dia benar-benar memesan minuman itu dan aku pun membuatnya, tak terpengaruh saat mencium bau menyengat espresso bercampur Frap base.

“Kasih KARAMEL TAMBAHAN,” kata cewe itu, berusaha mengintipku melewati divider. Matanya selalu mengikuti semua pergerakanku dan kadang mengangguk setuju. Aku menambahkan banyak sirup karamel dan menyiapkan sebotol saus karamel sambil menunggu minumannya tercampur.

“SAYA SANGAT SUKA KARAMEL!” cewe itu mengingatkan, empat detik kemudian. “Jadi pastikan ada banyak TAMBAHAN KARAMEL DI MINUMANKU!”

Aku meyakinkan dia bahwa aku akan menambahkan banyak-banyak dan dia semakin rapat menekan divider supaya bisa melihat pekerjaanku lebih jelas. Saat aku sudah menuang minumannya ke gelas, mendadak dia berteriak, “TUNGGU! Saya mau karamel di gelasnya.”

Permintaan itu adalah hal yang biasa, meski tetap saja menjijikan. Aku pun menurut, menuangkan minumannya kembali ke blender dan menambahkan banyak sekali saus karamel di sisi dalam gelas.

“LAGI!” katanya.

“Oke, tapi saya sudah menambahkan karamel juga di minumannya,” kataku, takut minumannya jadi terlalu berasa karamel. Rupanya ucapanku itu malah membuat dia semakin histeris. “Makanya saya bilang tambahkan karamel! Makanya saya memesan espresso! TAMBAHKAN KARAMEL TAMBAHKAN KARAMEL!”

AKhirnya sisi dalam gelas benar-benar terselimuti karamel dengan kira-kira ¼ inci saus menumpuk di dasar gelas. Aku menuang minumannya ke dalam gelas, memberikan whipped cream dan menambahkan saus karamel lagi di atasnya sebelum cewe itu protes lagi. Masalahnya, botol karamelku sudah habis sekarang dan aku harus mengisinya lagi.

“Tunggu sebentar,” kataku padanya, pergi ke belakang untuk mengambil sekantung saus karamel baru. Aku mendengar dia bertanya pada rekan kerjaku, “Bisa tidak kau pastikan dia memberikan karamel di atas minuman saya?” dan saat itu aku benar-benar ingin mencekik dia dengan minumannya. Jadi aku bergegas keluar dengan membawa kantung saus itu, dan me-refill  botol di luar. Sampai botolku penuh, masih ada sisa kira-kira ¼ karamel di dalam kantung. Aku tahu, AKU TAHU pasti Karamel Golem ini akan bertanya soal kantung karamel ini. Aku menyiapkan diri sambil menutup gelas dan menaruhnya di bar. Meskipun aku udah tahu bakal seperti apa pembicaraan selanjutnya, tetap saja aku terkejut saat dia meminta kantung karamel itu.

“Saya tidak bisa memberikannya, Bu, maaf!”

Aku pun beralih ke belakang untuk berberes dan berganti baju ketika kemudian aku mendengar bunyi barang2 jatuh di depan. Aku segera berlari keluar dan oke, cewe tadi ternyata sedang mencoba meraih kantung karamel itu sehingga menyenggol setumpuk pitcher bersih dan persediaan lainnya. Setengah badannya sudah melewati bar waktu rekan kerjaku yang malang mencoba mengontrol situasi.

“Bu, Anda harus pergi sekarang. Perilaku ini tidak bisa diterima dan Anda membuat kami semua tidak nyaman,” kubilang padanya.

“Berikan padaku kantung sialan itu!”

“Bu, saya akan menambahkan karamel lagi di minuman Anda tapi saya tidak bisa memberikan persediaan kami begitu saja. Kami sudah bersikap sopan pada Anda dan sekarang saya harus meminta Anda untuk PERGI.”

Dia pun berdiri tegang, mengambil minumannya, dan menatapku tajam. “Kau. Pelacur. SIALAN!” jeritnya, lalu melempar minumannya ke arahku.

Minuman itu tentu membuatku basah kuyup. Aku terdiam, mengambil napas panjang sehingga aku tidak melompati bar dan menyerang dia. Sebelum sempat aku melakukan apapun, cewe itu sudah berbalik dan berlari pergi.

Pacarku tiba beberapa menit kemudian dan membantu kami membersihkan semuanya, tapi ughhhh... aku ingin menangis dan sebagainya. Besoknya, managerku memberi tau bahwa dia sudah mendapatkan informasi tentang cewe itu lewat kartu kreditnya dan melaporkan semuanya pada polisi. Aku tidak tau apa yang terjadi selanjutnya, tapi pokoknya, cewe itu tidak pernah muncul kembali selama aku bekerja di sana.


________________________________




Setelah membaca semua ini, pesan dari gue adalah: JANGAN JADI KONSUMEN YANG NYEBELIN kaya mereka yang di atas ini. Pikirkanlah bahwa seraja-rajanya elu sebagai pihak yang dilayani, pegawai yang melayani elu juga manusia dan punya hak asasi. Memang mereka (kasarnya) butuh duit elu, tapi tanpa mereka pun lu semua ga bisa bersenang-senang di luaran sana.

Lots of things learned by going outside, but being a jerk is not one of them.

Think smart, do smart.


Sekian dan terima kasih. Salam keju!

No comments:

Post a Comment