Aku pernah mencintai seseorang.
Waktu itu kami masih duduk di kelas 6 SD. Aku ingat
kami terus sekelas sejak kelas 4.
Aku saat itu adalah tipe gadis yang menikmati
ketenaran. Aku bergabung dengan sebuah kelompok dance yang berisikan gadis-gadis populer, teman-temanku banyak,
anak laki-laki banyak yang suka padaku, nilai-nilai sekolahku memuaskan, dan
aku selalu masuk ranking sepuluh besar. Rasanya aku memiliki hidup yang sangat
bahagia dan berbeda dibanding orang lain.
Kemudian aku mengenal dia.
Tidak ada yang tahu sudah berapa lama dia
memiliki perasaan terhadapku. Dari semua orang yang suka padaku, dia bukanlah
laki-laki yang paling tampan, paling pintar, paling lucu, ataupun paling
menonjol dibanding yang lain. Kami bahkan tidak pernah mengobrol banyak
sebelumnya. Jujur saja, aku tidak terlalu tahu banyak soal dia, karena dia
termasuk salah seorang pendiam di kelas. Tapi entah mengapa ketika dia mengakui
perasaannya kepadaku, aku bertekad untuk menyukainya juga.
Dan itu terasa mudah.
Dia baik. Dia sangat peduli kepadaku. Apapun
yang kuperbuat, dia selalu menjaga dan menemaniku. Dia memberiku banyak hadiah
dan surat cinta walaupun aku tidak pernah memintanya. Dalam segala hal yang dia
lakukan untukku, aku dapat merasakan bahwa dia sungguh-sungguh mencintaiku.
Dia adalah cinta pertamaku.
Hubungan kami berlangsung sampai kami SMP. Banyak
interaksi kami lakukan secara sembunyi-sembunyi—pemberian hadiah, pemberian
surat cinta, mengobrol, memperhatikan satu sama lain—karena kami sama-sama
pemalu. Karena itu aku merasa hubungan kami sangat rahasia, privat.
Pada akhirnya banyak orang tahu tentang
hubungan kami, dan mereka berkata bahwa kami terlalu muda untuk menjalin suatu
hubungan yang lebih daripada sekedar teman, tapi kami tidak peduli. Aku tidak
peduli. Dia mencintaiku, dan aku mencintainya. Hanya itu yang penting.
Sebut saja itu cinta kekanakan, atau cinta
monyet.
Ketika semester kedua kelas tujuh dimulai, dia
pergi.
Iya. Semendadak itu. Dia tidak pernah
mengatakan kalau dia punya masalah, atau jika ada sesuatu yang salah dengan
hubungan kami, atau barangkali dia sekedar bosan… Dia tidak pernah mengatakan
apapun. Dia tiba-tiba pergi… lalu mengejar gadis lain.
Aku ditinggalkan begitu saja, dengan rasa sakit
yang begitu dalam serta rasa dikhianati. Itu cinta pertamaku, dan itu rasa
sakit akibat putus cinta pertamaku.
Aku ingat aku merasa sesak napas saat tahu dia
jadian dengan gadis yang baru itu. Aku ingat betapa panas muka dan mataku saat
teman-teman sekelas masih menggoda kami berdua. Tapi aku tidak menyalahkan
mereka. Mereka tidak tahu hubungan kami sudah berakhir. Dia memang tidak pernah
mengatakan apapun pada siapapun. Sama seperti ketika aku tidak tahu dia telah
lama menyimpan perasaan terhadapku… kalau aku tidak bertanya duluan, setahun
yang lalu.
Lalu aku—dengan segala rasa
tidak-ingin-mengalah-ku—pun mulai dekat dengan anak laki-laki lain, kali ini
lebih populer dan disukai lebih banyak gadis dibanding dia. Ketika kami jadian,
aku merasa puas. Hidupku dapat diperbaiki. Aku yakin aku bisa mencintai
kekasihku yang sekarang seperti aku mencintai dia dulu.
Tapi ternyata, ketika kami putus, rasanya tidak
sesakit yang pertama. Aku bisa move on
dengan mudah, meningkatkan nilai sekolahku, sibuk dengan aktivitas klub, dan
lain sebagainya.
Kemudian aku mendengar dia putus dengan kekasihnya, tak lama setelah aku putus. Anehnya,
aku yang sudah tidak peduli dengan dia (kupikir), merasa senang mendengar
berita itu. Aku puas memikirkan dia menyesal meninggalkanku. Aku puas berpikir
bahwa meskipun dia meminta aku menjadi kekasihnya kembali, aku akan menolaknya
mentah-mentah.
Atau tadinya kupikir begitu.
Suatu waktu, dia mendekatiku lagi. Dia berkata
bahwa dia masih mencintaiku dan menginginkanku kembali.
Aku tidak tahu apa yang kupikirkan pada saat
itu, tapi aku menerimanya. Aku
senang mengetahui dia masih mencintaiku. Aku senang bahwa dugaanku benar. Aku
senang bisa kembali menjadi gadis terpenting dalam hidupnya.
Kami pun kembali menjadi sepasang kekasih.
Beberapa waktu berlalu, kudengar gosip bahwa dia mendekati gadis yang sudah
menjadi kekasih orang lain. Kupikir itu cuma gosip, tapi lalu dia benar-benar memutuskanku—lagi—untuk
mengejar gadis itu. Sampai dia dan kekasih gadis itu sempat ribut di sekolah.
Aku melihat kejadian itu, dan lagi-lagi aku
merasa puas. Aku berharap saat itu dia jera lalu kembali padaku. Tapi ternyata
gadis itu memilih putus dengan kekasihnya dan pacaran dengan dia. Satu sekolah
sempat gempar dengan berita itu. Teman-temanku semua menghiburku, berkata bahwa
beruntung aku tidak terus bersama dengan dia yang ternyata seperti itu.
Aku menerima penghiburan itu, sependapat
dengannya, bertekad di kali berikutnya dia ingin kembali, aku pasti menolaknya
dengan yakin. Aku pun melanjutkan hidupku, menjalin hubungan dengan beberapa
pria lain. Ada yang berakhir secara baik-baik, ada pula yang tidak. Kesemuanya
itu tidak pernah membuat hatiku merasa sakit seperti yang pernah dia lakukan
padaku.
Tentu aku bersyukur. Mungkin, kupikir, aku
benar-benar sudah tidak memiliki perasaan apapun terhadapnya.
Beberapa waktu berlalu sementara dia tetap
bersama kekasihnya itu. Sampai kemudian mereka putus… dan dia meminta agar aku
mau menerimanya kembali.
Sebut aku bodoh. Sebut aku amat sangat bodoh. Aku sendiri tidak mengerti apa yang membuatku
menerimanya kembali, tapi aku melakukannya. Dan aku bahagia dengan keputusanku
itu… meski cuma sesaat.
Kejadiannya terulang kembali, terus menerus.
Dia jatuh cinta dengan salah satu teman baikku, dan kami putus. Saat ada
masalah dengan kekasih barunya, dia meminta agar aku menerimanya kembali. Lalu
dia jatuh cinta dengan gadis lain lagi. Lalu kami putus. Lalu dia meminta
kembali.
Hal itu berlangsung sampai kami duduk di bangku
kuliah.
Aku tahu aku bukan gadis nomor satu baginya.
Aku cuma alat yang bisa dia gunakan sesuka hati. Pengganti. Pelampiasan. Yang
bisa dibuang dan ditinggalkan kapan saja.
Aku tahu aku bodoh karena aku selalu membuka
hatiku untuknya. Tak peduli meskipun dia telah menghancurkan hatiku
berkali-kali untuk alasan yang sama, meskipun aku yakin dia akan melakukan
hal yang sama di kemudian hari, aku selalu menerimanya dengan lapang dada…
karena aku tahu dia akan selalu kembali padaku.
Saat terakhir kali kami menjalin hubungan,
mungkin hati nuraninya pada akhirnya sadar bahwa dia tidak bisa terus seperti
itu. Dia pergi. Dalam waktu singkat dan mendadak. Lagi.
Kata-kata terakhirnya sama sekali tidak cukup
untuk menebus semua yang telah dia perbuat padaku, tapi aku membiarkannya
pergi. Aku juga tahu aku tidak bisa terus seperti itu. Aku harus menemukan
cinta yang baru, seseorang yang mau sungguh-sungguh memberikan cintanya hanya
untukku dan yang tidak mudah berpindah hati.
Sampai saat ini, dia tidak pernah kembali.
Kami juga tidak pernah bertemu sekali pun dalam
beberapa tahun terakhir setelah hubungan kandas kami yang terakhir. Kudengar
dia sudah bertunangan dengan seorang wanita. Aku berharap bisa bertemu dengan
mereka dan menyampaikan ucapan selamat karena aku sungguh-sungguh senang dia
akhirnya telah memilih seseorang sebagai tambatan hati terakhirnya.
Harapan itu terkabul saat aku datang ke reuni
SD. Aku datang bersama sahabat-sahabatku yang juga berasal dari sekolah yang
sama, sementara dia—tentu saja—datang bersama tunangannya.
Tunangannya adalah seorang wanita cantik
berpenampilan modis layaknya model fashion, sangat tepat dan serasi untuknya. Ternyata tunangannya membawa serta adik perempuannya juga.
Seperti yang sudah kuduga sebelumnya, dia sama
sekali tidak pernah menyapaku. Sementara teman-teman lain dikenalkan dengan
tunangannya, hanya aku yang dia lewati. Kami juga sama sekali tidak pernah
bertemu pandang atau tersenyum satu sama lain. Seolah-olah baginya aku ini
tidak ada.
Aku pun tidak berusaha menyapanya. Mungkin,
kupikir, tunangannya akan marah kalau aku melakukan sesuatu untuk memperbaiki
hubungan kami. Jadi aku pun memperlakukan dia sama seperti dia memperlakukanku;
seolah-olah dia tidak ada. Aku beruntung ditemani oleh sahabat-sahabat yang
mengerti aku. Mereka dengan setia selalu menemaniku sehingga aku tidak terlalu
merasa kesepian di tengah keramaian.
Yang mengajak kami mengobrol malah adik dari
tunangannya itu. Umur kakak-beradik itu tidak berbeda jauh, dan gadis itu sama
cantik seperti kakaknya. Beberapa saat kami mengobrol, lama kelamaan topik
berubah menjadi tentang dia. Adik
tunangannya itu terlihat begitu bangga akan hubungan mereka. Gadis itu
bercerita tentang bagaimana dia
selalu begitu romantis, begitu manis, begitu setia, selalu ada kapanpun kakaknya
membutuhkan.
Kami berusaha merespon sebaik mungkin. Aku merasa sahabat-sahabatku hanya berpura-pura bereaksi
netral padahal sebenarnya mereka ingin menghentikan kata-kata si adik demi
menjaga perasaanku, dengan cara kasar kalau bisa, karena si adik terus menyombongkan
hubungan kakaknya dengan dia tanpa
henti. Tapi aku tetap mendengarkan dengan sungguh-sungguh dan merespon dengan
tulus.
Ketika acara berakhir, aku dan
sahabat-sahabatku merupakan yang paling terakhir meninggalkan tempat. Entah
bagaimana, aku menemukan secarik kertas terlipat di atas meja. Tulisan yang
tertera di atasnya ditujukan kepadaku, tapi tidak ada nama pengirimnya.
Aku pun membuka lipatan kertas itu dan mulai
membaca. Mungkin saking terkejutnya, aku tidak segera mengerti apa isi dari
tulisan di dalamnya, karena bagiku isinya tidak penting serta tidak relevan
dengan peristiwa di hari itu. Apalagi tulisan tangan itu kelihatan terburu-buru
dan kalimat terakhir belum selesai ditulis.
Aku samar-samar ingat bahwa tadi sebelum dia dan tunangannya pulang meninggalkan
acara, dia terlihat sedang menulis sesuatu secara sembunyi-sembunyi. Begitu
tunangannya memanggil, dia cepat-cepat menyembunyikan apa yang dilakukannya.
Menyambungkan logika itu, aku yakin bahwa surat
yang ada di tanganku sekarang adalah dari dia.
Aku lalu berpikir; apa harus kusimpan surat itu, atau lebih baik kubuang karena
aku tak mengert isinya? Tapi kemudian salah satu sahabatku (yang ternyata ikut
membaca dari belakang) berkata bahwa inti dari surat itu adalah…… bahwa dia
sebenarnya masih memiliki perasan terhadapku, meski tidak sekuat dulu.
Mendengar itu, aku merasa seperti mendapat
pencerahan. Mungkin itu sebabnya dia tidak pernah lagi menghubungiku. Mungkin
itu sebabnya dia menganggap eksistensiku tidak nyata. Dia sadar bahwa dia harus
melabuhkan cinta yang sesungguhnya kepada gadis lain. Seseorang yang bukan
aku—yang tidak bisa membuat cintanya semembara dulu.
Seketika itu juga aku merasa kesal pada diriku
sendiri, karena kepuasan yang lama ternyata masih ada. Kepuasan bahwa aku tahu dia pasti kembali padaku, mencariku kembali, mendapatkan ketenangan
saat berada di sisiku lagi.
Cepat-cepat kuredam rasa itu. Dia sudah
memiliki tunangan. Sebentar lagi mereka akan menikah dan berkeluarga, dan aku
tidak akan pernah bisa memiliki arti di antara mereka berdua. Aku tidak mau
merusak hubungan mereka.
Tapi beberapa hari kemudian aku dan
sahabat-sahabatku melihat dia sedang
bertengkar dengan tunangannya di depan sebuah kafe. Dari pembicaraan mereka,
kami mendapat informasi bahwa bahwa selama ini adik tunangannya yang cantik itu
ternyata seorang transgender. Yang paling mengejutkan, ternyata tunangannya juga seorang transgender. Dan dia baru mengetahui semua itu belum lama
ini, makanya mereka bertengkar.
Semua yang mendengar pertengkaran itu tertawa.
Aku tidak. Dalam lubuk hatiku, ada rasa sedih sekaligus senang. Sedih karena
bersimpati dengan hubungan yang gagal, senang karena…… Oh, aku memang wanita yang jahat.
Kemudian aku terbangun.
Aku menarik napas lega. Ternyata peristiwa
sejak reunian itu hanya mimpi.
Kuceritakan mimpi itu kepada sahabat-sahabatku.
Satu hal yang mereka tanyakan setelah mendengarnya adalah: “Sebenarnya kau
masih mencintainya kan?”
Aku terdiam. Sejujurnya, semenjak hubungan aku
dan dia kandas terakhir kali itu, aku merasa sudah tidak memiliki perasaan
apapun terhadapnya. Melihatnya berpacaran dengan wanita-wanita lain pun aku
tidak merasakan apa-apa. Walau begitu harus kuakui bahwa saat aku tahu dia
telah bertunangan, ada sedikit rasa cemburu yang muncul. Entah itu karena iri
bahwa dia lebih dulu bertunangan dibanding aku, atau kenapa yang ada di sisinya
saat ini bukanlah aku. Kuharap… Tidak, aku yakin
jawabannya adalah yang pertama.
Seseorang pernah berkata bahwa aku ini tipe
orang yang sukar jatuh cinta. Namun sekalinya jatuh cinta, aku akan terus
mencintai orang itu sampai seterusnya.
Iya. Kurasa aku mencintai dia, barangkali terlalu dalam sampai aku tidak peduli walau dia
telah menyakiti perasaanku berkali-kali dan aku tetap menerimanya kembali.
Tapi itu dulu.
Aku tidak lagi berharap dia kembali padaku.
Kalaupun suatu saat nanti dia kembali (semoga saja tidak pernah), aku
sungguh-sungguh bertekad tidak akan menerimanya kembali. Aku tidak bisa.
Gelas yang sudah pecah terbelah meskipun
disatukan kembali retakannya akan tetap ada dan gelas itu tetap rusak, biar
bagaimanapun tidak bisa kembali utuh seperti sedia kala. Sama seperti hubungan
kami—sudah pecah entah berapa kali dengan retakan yang semakin banyak dan
semakin rusak. Kami tidak akan pernah bisa kembali bersama.
Aku pernah mencintainya. Dia adalah cinta
pertamaku.
Sekarang, satu hal yang pasti kurasakan untuknya adalah: aku ingin dia bahagia.
Hanya itu saja.
Maka dari itu, kutulis surat ini untuk dia.
Mungkin suatu saat nanti kami memiliki kesempatan untuk bertemu dan aku bisa
memberikan ini untuknya. Namun seandainya kesempatan itu tidak pernah datang
pun tidak masalah. Aku sudah mencurahkan seluruh sisa perasaanku padanya dan dengan ini, aku cukup merasa puas. Hehe.
Ini untukmu.
I have long forgiven you.
I’m glad you have found someone whom you truly
love and love you back.
May God’s blessing be with you, your family,
children, grandchildren, and so on.
I wish you so much happiness as long as you
live.
I truly do.
No comments:
Post a Comment