Monday, October 8, 2018

Sebuah Cerpen — "Untuk Dia"


Aku pernah mencintai seseorang.



Waktu itu kami masih duduk di kelas 6 SD. Aku ingat kami terus sekelas sejak kelas 4.

Aku saat itu adalah tipe gadis yang menikmati ketenaran. Aku bergabung dengan sebuah kelompok dance yang berisikan gadis-gadis populer, teman-temanku banyak, anak laki-laki banyak yang suka padaku, nilai-nilai sekolahku memuaskan, dan aku selalu masuk ranking sepuluh besar. Rasanya aku memiliki hidup yang sangat bahagia dan berbeda dibanding orang lain.

Kemudian aku mengenal dia.

Tidak ada yang tahu sudah berapa lama dia memiliki perasaan terhadapku. Dari semua orang yang suka padaku, dia bukanlah laki-laki yang paling tampan, paling pintar, paling lucu, ataupun paling menonjol dibanding yang lain. Kami bahkan tidak pernah mengobrol banyak sebelumnya. Jujur saja, aku tidak terlalu tahu banyak soal dia, karena dia termasuk salah seorang pendiam di kelas. Tapi entah mengapa ketika dia mengakui perasaannya kepadaku, aku bertekad untuk menyukainya juga.

Dan itu terasa mudah.

Dia baik. Dia sangat peduli kepadaku. Apapun yang kuperbuat, dia selalu menjaga dan menemaniku. Dia memberiku banyak hadiah dan surat cinta walaupun aku tidak pernah memintanya. Dalam segala hal yang dia lakukan untukku, aku dapat merasakan bahwa dia sungguh-sungguh mencintaiku.

Dia adalah cinta pertamaku.

Hubungan kami berlangsung sampai kami SMP. Banyak interaksi kami lakukan secara sembunyi-sembunyi—pemberian hadiah, pemberian surat cinta, mengobrol, memperhatikan satu sama lain—karena kami sama-sama pemalu. Karena itu aku merasa hubungan kami sangat rahasia, privat.

Pada akhirnya banyak orang tahu tentang hubungan kami, dan mereka berkata bahwa kami terlalu muda untuk menjalin suatu hubungan yang lebih daripada sekedar teman, tapi kami tidak peduli. Aku tidak peduli. Dia mencintaiku, dan aku mencintainya. Hanya itu yang penting.

Sebut saja itu cinta kekanakan, atau cinta monyet.

Ketika semester kedua kelas tujuh dimulai, dia pergi.

Iya. Semendadak itu. Dia tidak pernah mengatakan kalau dia punya masalah, atau jika ada sesuatu yang salah dengan hubungan kami, atau barangkali dia sekedar bosan… Dia tidak pernah mengatakan apapun. Dia tiba-tiba pergi… lalu mengejar gadis lain.

Aku ditinggalkan begitu saja, dengan rasa sakit yang begitu dalam serta rasa dikhianati. Itu cinta pertamaku, dan itu rasa sakit akibat putus cinta pertamaku.

Aku ingat aku merasa sesak napas saat tahu dia jadian dengan gadis yang baru itu. Aku ingat betapa panas muka dan mataku saat teman-teman sekelas masih menggoda kami berdua. Tapi aku tidak menyalahkan mereka. Mereka tidak tahu hubungan kami sudah berakhir. Dia memang tidak pernah mengatakan apapun pada siapapun. Sama seperti ketika aku tidak tahu dia telah lama menyimpan perasaan terhadapku… kalau aku tidak bertanya duluan, setahun yang lalu.

Lalu aku—dengan segala rasa tidak-ingin-mengalah-ku—pun mulai dekat dengan anak laki-laki lain, kali ini lebih populer dan disukai lebih banyak gadis dibanding dia. Ketika kami jadian, aku merasa puas. Hidupku dapat diperbaiki. Aku yakin aku bisa mencintai kekasihku yang sekarang seperti aku mencintai dia dulu.

Tapi ternyata, ketika kami putus, rasanya tidak sesakit yang pertama. Aku bisa move on dengan mudah, meningkatkan nilai sekolahku, sibuk dengan aktivitas klub, dan lain sebagainya.

Kemudian aku mendengar dia putus dengan kekasihnya, tak lama setelah aku putus. Anehnya, aku yang sudah tidak peduli dengan dia (kupikir), merasa senang mendengar berita itu. Aku puas memikirkan dia menyesal meninggalkanku. Aku puas berpikir bahwa meskipun dia meminta aku menjadi kekasihnya kembali, aku akan menolaknya mentah-mentah.

Atau tadinya kupikir begitu.

Suatu waktu, dia mendekatiku lagi. Dia berkata bahwa dia masih mencintaiku dan menginginkanku kembali.

Aku tidak tahu apa yang kupikirkan pada saat itu, tapi aku menerimanya. Aku senang mengetahui dia masih mencintaiku. Aku senang bahwa dugaanku benar. Aku senang bisa kembali menjadi gadis terpenting dalam hidupnya.

Kami pun kembali menjadi sepasang kekasih. Beberapa waktu berlalu, kudengar gosip bahwa dia mendekati gadis yang sudah menjadi kekasih orang lain. Kupikir itu cuma gosip, tapi lalu dia benar-benar memutuskanku—lagi—untuk mengejar gadis itu. Sampai dia dan kekasih gadis itu sempat ribut di sekolah.

Aku melihat kejadian itu, dan lagi-lagi aku merasa puas. Aku berharap saat itu dia jera lalu kembali padaku. Tapi ternyata gadis itu memilih putus dengan kekasihnya dan pacaran dengan dia. Satu sekolah sempat gempar dengan berita itu. Teman-temanku semua menghiburku, berkata bahwa beruntung aku tidak terus bersama dengan dia yang ternyata seperti itu.

Aku menerima penghiburan itu, sependapat dengannya, bertekad di kali berikutnya dia ingin kembali, aku pasti menolaknya dengan yakin. Aku pun melanjutkan hidupku, menjalin hubungan dengan beberapa pria lain. Ada yang berakhir secara baik-baik, ada pula yang tidak. Kesemuanya itu tidak pernah membuat hatiku merasa sakit seperti yang pernah dia lakukan padaku.

Tentu aku bersyukur. Mungkin, kupikir, aku benar-benar sudah tidak memiliki perasaan apapun terhadapnya.

Beberapa waktu berlalu sementara dia tetap bersama kekasihnya itu. Sampai kemudian mereka putus… dan dia meminta agar aku mau menerimanya kembali.

Sebut aku bodoh. Sebut aku amat sangat bodoh. Aku sendiri tidak mengerti apa yang membuatku menerimanya kembali, tapi aku melakukannya. Dan aku bahagia dengan keputusanku itu… meski cuma sesaat.

Kejadiannya terulang kembali, terus menerus. Dia jatuh cinta dengan salah satu teman baikku, dan kami putus. Saat ada masalah dengan kekasih barunya, dia meminta agar aku menerimanya kembali. Lalu dia jatuh cinta dengan gadis lain lagi. Lalu kami putus. Lalu dia meminta kembali.

Hal itu berlangsung sampai kami duduk di bangku kuliah.

Aku tahu aku bukan gadis nomor satu baginya. Aku cuma alat yang bisa dia gunakan sesuka hati. Pengganti. Pelampiasan. Yang bisa dibuang dan ditinggalkan kapan saja.

Aku tahu aku bodoh karena aku selalu membuka hatiku untuknya. Tak peduli meskipun dia telah menghancurkan hatiku berkali-kali untuk alasan yang sama, meskipun aku yakin dia akan melakukan hal yang sama di kemudian hari, aku selalu menerimanya dengan lapang dada… karena aku tahu dia akan selalu kembali padaku.

Saat terakhir kali kami menjalin hubungan, mungkin hati nuraninya pada akhirnya sadar bahwa dia tidak bisa terus seperti itu. Dia pergi. Dalam waktu singkat dan mendadak. Lagi.

Kata-kata terakhirnya sama sekali tidak cukup untuk menebus semua yang telah dia perbuat padaku, tapi aku membiarkannya pergi. Aku juga tahu aku tidak bisa terus seperti itu. Aku harus menemukan cinta yang baru, seseorang yang mau sungguh-sungguh memberikan cintanya hanya untukku dan yang tidak mudah berpindah hati.

Sampai saat ini, dia tidak pernah kembali.

Kami juga tidak pernah bertemu sekali pun dalam beberapa tahun terakhir setelah hubungan kandas kami yang terakhir. Kudengar dia sudah bertunangan dengan seorang wanita. Aku berharap bisa bertemu dengan mereka dan menyampaikan ucapan selamat karena aku sungguh-sungguh senang dia akhirnya telah memilih seseorang sebagai tambatan hati terakhirnya.

Harapan itu terkabul saat aku datang ke reuni SD. Aku datang bersama sahabat-sahabatku yang juga berasal dari sekolah yang sama, sementara dia—tentu saja—datang bersama tunangannya.

Tunangannya adalah seorang wanita cantik berpenampilan modis layaknya model fashion, sangat tepat dan serasi untuknya. Ternyata tunangannya membawa serta adik perempuannya juga.

Seperti yang sudah kuduga sebelumnya, dia sama sekali tidak pernah menyapaku. Sementara teman-teman lain dikenalkan dengan tunangannya, hanya aku yang dia lewati. Kami juga sama sekali tidak pernah bertemu pandang atau tersenyum satu sama lain. Seolah-olah baginya aku ini tidak ada.

Aku pun tidak berusaha menyapanya. Mungkin, kupikir, tunangannya akan marah kalau aku melakukan sesuatu untuk memperbaiki hubungan kami. Jadi aku pun memperlakukan dia sama seperti dia memperlakukanku; seolah-olah dia tidak ada. Aku beruntung ditemani oleh sahabat-sahabat yang mengerti aku. Mereka dengan setia selalu menemaniku sehingga aku tidak terlalu merasa kesepian di tengah keramaian.

Yang mengajak kami mengobrol malah adik dari tunangannya itu. Umur kakak-beradik itu tidak berbeda jauh, dan gadis itu sama cantik seperti kakaknya. Beberapa saat kami mengobrol, lama kelamaan topik berubah menjadi tentang dia. Adik tunangannya itu terlihat begitu bangga akan hubungan mereka. Gadis itu bercerita tentang bagaimana dia selalu begitu romantis, begitu manis, begitu setia, selalu ada kapanpun kakaknya membutuhkan.

Kami berusaha merespon sebaik mungkin. Aku merasa sahabat-sahabatku hanya berpura-pura bereaksi netral padahal sebenarnya mereka ingin menghentikan kata-kata si adik demi menjaga perasaanku, dengan cara kasar kalau bisa, karena si adik terus menyombongkan hubungan kakaknya dengan dia tanpa henti. Tapi aku tetap mendengarkan dengan sungguh-sungguh dan merespon dengan tulus. 

Ketika acara berakhir, aku dan sahabat-sahabatku merupakan yang paling terakhir meninggalkan tempat. Entah bagaimana, aku menemukan secarik kertas terlipat di atas meja. Tulisan yang tertera di atasnya ditujukan kepadaku, tapi tidak ada nama pengirimnya.

Aku pun membuka lipatan kertas itu dan mulai membaca. Mungkin saking terkejutnya, aku tidak segera mengerti apa isi dari tulisan di dalamnya, karena bagiku isinya tidak penting serta tidak relevan dengan peristiwa di hari itu. Apalagi tulisan tangan itu kelihatan terburu-buru dan kalimat terakhir belum selesai ditulis.

Aku samar-samar ingat bahwa tadi sebelum dia dan tunangannya pulang meninggalkan acara, dia terlihat sedang menulis sesuatu secara sembunyi-sembunyi. Begitu tunangannya memanggil, dia cepat-cepat menyembunyikan apa yang dilakukannya.

Menyambungkan logika itu, aku yakin bahwa surat yang ada di tanganku sekarang adalah dari dia. Aku lalu berpikir; apa harus kusimpan surat itu, atau lebih baik kubuang karena aku tak mengert isinya? Tapi kemudian salah satu sahabatku (yang ternyata ikut membaca dari belakang) berkata bahwa inti dari surat itu adalah…… bahwa dia sebenarnya masih memiliki perasan terhadapku, meski tidak sekuat dulu.

Mendengar itu, aku merasa seperti mendapat pencerahan. Mungkin itu sebabnya dia tidak pernah lagi menghubungiku. Mungkin itu sebabnya dia menganggap eksistensiku tidak nyata. Dia sadar bahwa dia harus melabuhkan cinta yang sesungguhnya kepada gadis lain. Seseorang yang bukan aku—yang tidak bisa membuat cintanya semembara dulu.

Seketika itu juga aku merasa kesal pada diriku sendiri, karena kepuasan yang lama ternyata masih ada. Kepuasan bahwa aku tahu dia pasti kembali padaku, mencariku kembali, mendapatkan ketenangan saat berada di sisiku lagi.

Cepat-cepat kuredam rasa itu. Dia sudah memiliki tunangan. Sebentar lagi mereka akan menikah dan berkeluarga, dan aku tidak akan pernah bisa memiliki arti di antara mereka berdua. Aku tidak mau merusak hubungan mereka.

Tapi beberapa hari kemudian aku dan sahabat-sahabatku melihat dia sedang bertengkar dengan tunangannya di depan sebuah kafe. Dari pembicaraan mereka, kami mendapat informasi bahwa bahwa selama ini adik tunangannya yang cantik itu ternyata seorang transgender. Yang paling mengejutkan, ternyata tunangannya juga seorang transgender. Dan dia baru mengetahui semua itu belum lama ini, makanya mereka bertengkar.

Semua yang mendengar pertengkaran itu tertawa. Aku tidak. Dalam lubuk hatiku, ada rasa sedih sekaligus senang. Sedih karena bersimpati dengan hubungan yang gagal, senang karena…… Oh, aku memang wanita yang jahat.

_________________________________


Kemudian aku terbangun.

Aku menarik napas lega. Ternyata peristiwa sejak reunian itu hanya mimpi.

Kuceritakan mimpi itu kepada sahabat-sahabatku. Satu hal yang mereka tanyakan setelah mendengarnya adalah: “Sebenarnya kau masih mencintainya kan?”

Aku terdiam. Sejujurnya, semenjak hubungan aku dan dia kandas terakhir kali itu, aku merasa sudah tidak memiliki perasaan apapun terhadapnya. Melihatnya berpacaran dengan wanita-wanita lain pun aku tidak merasakan apa-apa. Walau begitu harus kuakui bahwa saat aku tahu dia telah bertunangan, ada sedikit rasa cemburu yang muncul. Entah itu karena iri bahwa dia lebih dulu bertunangan dibanding aku, atau kenapa yang ada di sisinya saat ini bukanlah aku. Kuharap… Tidak, aku yakin jawabannya adalah yang pertama.

Seseorang pernah berkata bahwa aku ini tipe orang yang sukar jatuh cinta. Namun sekalinya jatuh cinta, aku akan terus mencintai orang itu sampai seterusnya.

Iya. Kurasa aku mencintai dia, barangkali terlalu dalam sampai aku tidak peduli walau dia telah menyakiti perasaanku berkali-kali dan aku tetap menerimanya kembali.

Tapi itu dulu.

Aku tidak lagi berharap dia kembali padaku. Kalaupun suatu saat nanti dia kembali (semoga saja tidak pernah), aku sungguh-sungguh bertekad tidak akan menerimanya kembali. Aku tidak bisa.

Gelas yang sudah pecah terbelah meskipun disatukan kembali retakannya akan tetap ada dan gelas itu tetap rusak, biar bagaimanapun tidak bisa kembali utuh seperti sedia kala. Sama seperti hubungan kami—sudah pecah entah berapa kali dengan retakan yang semakin banyak dan semakin rusak. Kami tidak akan pernah bisa kembali bersama.

Aku pernah mencintainya. Dia adalah cinta pertamaku.

Sekarang, satu hal yang pasti kurasakan untuknya adalah: aku ingin dia bahagia.

Hanya itu saja.

Maka dari itu, kutulis surat ini untuk dia. Mungkin suatu saat nanti kami memiliki kesempatan untuk bertemu dan aku bisa memberikan ini untuknya. Namun seandainya kesempatan itu tidak pernah datang pun tidak masalah. Aku sudah mencurahkan seluruh sisa perasaanku padanya dan dengan ini, aku cukup merasa puas. Hehe.

Ini untukmu.


I have long forgiven you.
I’m glad you have found someone whom you truly love and love you back.
May God’s blessing be with you, your family, children, grandchildren, and so on.
I wish you so much happiness as long as you live.  
I truly do.

No comments:

Post a Comment